Pontianak, 27/7 (ANTARA) - Dalam menerapan hukum adat masyarakat Dayak dikenal falsafah "Adat Labih Jubata Bera, Adat Kurang Antu Bera" yang bermakna dalam melaksanakan hukum adat tidak boleh lebih ataupun kurang.
"Petugas adat dalam memberlakukan hukum adatnya, tidak boleh menyalahi aturan, baik menambah hukum itu maupun menguranginya," kata Guru Besar Hukum Adat dari Universitas Tanjungpura, Prof DR YC Thambun Anyang, SH, kepada ANTARA di Pontianak, Jumat.Ia mengatakan, pemberlakuan hukum adat tidak bisa seenaknya saja. Tetapi mesti mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat adat tersebut. Seperti halnya yang diterapkan di masyarakat Dayak di pulau Kalimantan.
Setiap hukum adat yang berlaku tidak boleh dilebihkan ataupun dikurangi. Petugas adat tidak bisa begitu saja menyelesaikan suatu perkara adat jika dilakukan dengan cara yang tidak adil.
Begitu pula sanksi yang diberikan. Petugas adat tidak bisa memberikan sanksi sehingga menganiaya terhukum. Falsafah seperti "Pamangkong Ame' Patah, Ular Ame' Tana, Ame' Lamakng", yang berarti "pemukul jangan patah, ular jangan mati, tanah jangan berbekas" mesti dipegang.
Falsafah itu mengandung makna, supaya putusan hukum yang dibuat temenggung atau ketua adat hendaknya membuat sadar bahwa yang bersangkutan bersalah dan patut dihukum. Putusan yang diberikan mesti bersifat mendidik sehingga orang tidak berbuat kesalahan lagi, bukan putusan yang menganiaya.
Thambun Anyang yang juga Pembantu Rektor II Untan, menyatakan, hukum adat berlaku di setiap komunitas adat. Hukum adat merupakan kebudayaan, sehingga semua masyarakat adat di Indonesia memiliki hukum adat. Berapa pun jumlah etnis yang ada, sama jumlahnya dengan hukum adat yang ada.
Hukum adat ada yang tertulis dan ada yang hanya tersimpan dalam otak masyarakatnya. "Hukum adat akan tetap bertahan jika masyarakat adat tetap ada," jelasnya.
Dalam pelaksanaan saat ini, hukum adat telah mengalami proses perubahan. Karena sesuai sifat hukum adat itu sendiri yang dinamis, berubah ke arah yang lebih baik. Semisal dalam pemberian sanksi adatnya.
Jika dahulu untuk menghukum adat pelanggar atau pelaku perselingkuhan bisa dengan hukum rejam atau ditombak, maka saat ini tidak berlaku lagi. Kebiasaan seperti itu sudah lama ditinggalkan dan tidak boleh dilaksanakan. Begitu pula dengan hukuman mati yang dahulu berlaku, kini sudah ditinggalkan.
Adanya perubahan sanksi hukum adat itu, menurutnya karana masuknya agama yang mengubah pola pikir masyarakat adat.
Mengenai adanya keinginan menjadikan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia, seperti yang diatur dalam KUHP, menurut Thambun Anyang, pemberlakuan hukum adat mesti disepakati secara bersama-sama. Apalagi jika dalam suatu kelompok masyarakat terdapat lebih dari satu etnis.
Namun umumnya, menurut ia, hukum adat relevan dilaksanakan di komunitas adat itu sendiri dan komunitas yang mayoritas. Hukum adat Dayak berlaku di komunitas masyarakat Dayak, hukum adat Melayu berlaku di masyarakat Melayu, dan hukum adat Tionghoa berlaku di masyarakat Tionghoa.
"Hukum adat merupakan sesuatu yang lahir di masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hukum adat juga disebut hukum rakyat," imbuhnya.
Dalam masyarakat berlaku falsafah "Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Jika dalam suatu wilayah terdapat etnis tertentu yang lebih banyak, maka pelanggar adat dari etnis lain juga dapat dikenakan sanksi adat dari etnis terbanyak.
Namun masyarakat juga dapat bersepakat jika tidak ingin memberlakukan hukum adat dari salah satu etnis.
Di masyarakat adat juga dikenal ketua-ketua adat. Semisal temenggung, patih, penggawa dan demung. Semuanya itu para ketua adat yang berperan dalam memutuskan perkara adat yang sedang terjadi.
Mereka inilah yang mempertahankan dan melestarikan kebudayaan tersebut. Mereka merupakan pilihan masyarakat adat yang percaya bahwa hukum adat akan berlaku adil ditangan para ketua adat tersebut.
Sementara mengenai materi sanksi dari hukum adat, sesuai perkembangannya juga telah mengenal pembayaran adat menggunakan uang. Hal itu bisa terjadi mengingat sulitnya untuk mendapatkan barang-barang yang semula menjadi syarat adat seperti tempayan dan hewan.
Penggunaan uang sebagai alat pembayaran hukum adat dibenarkan asal tidak menyimpang dan sesuai kewajarannya, jelas Thambun Anyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar