Jumat, 27 Juli 2007

PENERAPAN HUKUM ADAT TIDAK BOLEH LEBIH ATAUPUN KURANG

Pontianak, 27/7 (ANTARA) - Dalam menerapan hukum adat masyarakat Dayak dikenal falsafah "Adat Labih Jubata Bera, Adat Kurang Antu Bera" yang bermakna dalam melaksanakan hukum adat tidak boleh lebih ataupun kurang.

"Petugas adat dalam memberlakukan hukum adatnya, tidak boleh menyalahi aturan, baik menambah hukum itu maupun menguranginya," kata Guru Besar Hukum Adat dari Universitas Tanjungpura, Prof DR YC Thambun Anyang, SH, kepada ANTARA di Pontianak, Jumat.

Ia mengatakan, pemberlakuan hukum adat tidak bisa seenaknya saja. Tetapi mesti mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat adat tersebut. Seperti halnya yang diterapkan di masyarakat Dayak di pulau Kalimantan.


Setiap hukum adat yang berlaku tidak boleh dilebihkan ataupun dikurangi. Petugas adat tidak bisa begitu saja menyelesaikan suatu perkara adat jika dilakukan dengan cara yang tidak adil.


Begitu pula sanksi yang diberikan. Petugas adat tidak bisa memberikan sanksi sehingga menganiaya terhukum. Falsafah seperti "Pamangkong Ame' Patah, Ular Ame' Tana, Ame' Lamakng", yang berarti "pemukul jangan patah, ular jangan mati, tanah jangan berbekas" mesti dipegang.


Falsafah itu mengandung makna, supaya putusan hukum yang dibuat temenggung atau ketua adat hendaknya membuat sadar bahwa yang bersangkutan bersalah dan patut dihukum. Putusan yang diberikan mesti bersifat mendidik sehingga orang tidak berbuat kesalahan lagi, bukan putusan yang menganiaya.


Thambun Anyang yang juga Pembantu Rektor II Untan, menyatakan, hukum adat berlaku di setiap komunitas adat. Hukum adat merupakan kebudayaan, sehingga semua masyarakat adat di Indonesia memiliki hukum adat. Berapa pun jumlah etnis yang ada, sama jumlahnya dengan hukum adat yang ada.


Hukum adat ada yang tertulis dan ada yang hanya tersimpan dalam otak masyarakatnya. "Hukum adat akan tetap bertahan jika masyarakat adat tetap ada," jelasnya.


Dalam pelaksanaan saat ini, hukum adat telah mengalami proses perubahan. Karena sesuai sifat hukum adat itu sendiri yang dinamis, berubah ke arah yang lebih baik. Semisal dalam pemberian sanksi adatnya.


Jika dahulu untuk menghukum adat pelanggar atau pelaku perselingkuhan bisa dengan hukum rejam atau ditombak, maka saat ini tidak berlaku lagi. Kebiasaan seperti itu sudah lama ditinggalkan dan tidak boleh dilaksanakan. Begitu pula dengan hukuman mati yang dahulu berlaku, kini sudah ditinggalkan.

Adanya perubahan sanksi hukum adat itu, menurutnya karana masuknya agama yang mengubah pola pikir masyarakat adat.

Mengenai adanya keinginan menjadikan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia, seperti yang diatur dalam KUHP, menurut Thambun Anyang, pemberlakuan hukum adat mesti disepakati secara bersama-sama. Apalagi jika dalam suatu kelompok masyarakat terdapat lebih dari satu etnis.


Namun umumnya, menurut ia, hukum adat relevan dilaksanakan di komunitas adat itu sendiri dan komunitas yang mayoritas. Hukum adat Dayak berlaku di komunitas masyarakat Dayak, hukum adat Melayu berlaku di masyarakat Melayu, dan hukum adat Tionghoa berlaku di masyarakat Tionghoa.


"Hukum adat merupakan sesuatu yang lahir di masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu hukum adat juga disebut hukum rakyat," imbuhnya.

Dalam masyarakat berlaku falsafah "Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Jika dalam suatu wilayah terdapat etnis tertentu yang lebih banyak, maka pelanggar adat dari etnis lain juga dapat dikenakan sanksi adat dari etnis terbanyak.

Namun masyarakat juga dapat bersepakat jika tidak ingin memberlakukan hukum adat dari salah satu etnis.


Di masyarakat adat juga dikenal ketua-ketua adat. Semisal temenggung, patih, penggawa dan demung. Semuanya itu para ketua adat yang berperan dalam memutuskan perkara adat yang sedang terjadi.


Mereka inilah yang mempertahankan dan melestarikan kebudayaan tersebut. Mereka merupakan pilihan masyarakat adat yang percaya bahwa hukum adat akan berlaku adil ditangan para ketua adat tersebut.


Sementara mengenai materi sanksi dari hukum adat, sesuai perkembangannya juga telah mengenal pembayaran adat menggunakan uang. Hal itu bisa terjadi mengingat sulitnya untuk mendapatkan barang-barang yang semula menjadi syarat adat seperti tempayan dan hewan.


Penggunaan uang sebagai alat pembayaran hukum adat dibenarkan asal tidak menyimpang dan sesuai kewajarannya, jelas Thambun Anyang.

Kamis, 26 Juli 2007

PERDA TRAFFICKING KALBAR MESTI SEGERA DISOSIALISASIKAN

Pontianak, 26/7 (ANTARA) - Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, pada Kamis, hendaknya segera disosialisasikan secara berjenjang hingga kepada lapisan masyarakat di tingkat pedesaan.

Anggota tim penyusun naskah Perda, Kunthi Tridewiyanti, di Pontianak, menyatakan, sosialisasi berjenjang dimulai dari jajaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat kecamatan, kelurahan atau desa guna mencegah masih maraknya perdagangan orang karena ulah aparat pemerintah.

Ia menyatakan, munculnya kasus perdagangan orang, terutama perempuan dan anak di Kalbar, tidak terlepas dari "jasa" aparat di daerah yang menggampangkan dalam pengurusan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk (KTP). "Mencuri" (menambahkan) umur atau menjadi warga desa itu padahal merupakan pendatang, merupakan praktek yang biasa terjadi dalam pembuatan KTP.


Karena itu, sebagai salah seorang penyusun naskah itu, Kunthi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia mengingatkan agar pemerintah provinsi Kalbar segera melakukan sosialisasi Perda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak tersebut.


Kunthi yang ditemui seusai menghadiri Paripurna Pendapat Akhir Fraksi di DPRD Kalbar mengenai Perda perdagangan orang itu menyatakan sosialisasi berjenjang dilakukan guna mengetahui komitmen dari pemerintah kabupaten/kota terhadap masalah perdagangan orang yang terjadi di daerahnya.


Selain berjenjang kepada pemerintah daerah, sosialisasi juga mesti dilakukan pada lingkungan keluarga. Melalui bantuan kelompok pengajian, perkumpulan ibu-ibu, dll. Seperti yang dilakukan di Sulawesi Utara, sosialisasi perda serupa dilaksanakan di gereja-gereja dan rumah ibadah lainnya.


Menurut ia, permasalahan perdagangan perempuan dan anak merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Sehingga perlu kerjasama semua pihak dan perhatian yang khusus.


Ia mencontohkan, di Sumatera Utara, Perda serupa telah berjalan optimal karena pemerintah setempat cukup respon. Telah dibangun kerjasama parapihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berperan hingga ke luar negeri mengatasi masalah perdagangan orang tersebut.


Anggota tim penyusun naskah lainnya, Agustine Lumangkun, dari Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Tanjungpura Pontianak, menyatakan, penyusunan naskah perda tidak memakan waktu lama. Namun prosesnya yang berlangsung selama hampir dua tahun. "Ini hal yang wajar, karena merupakan suatu yang baru," katanya.


Kunthi Tridewiyanti, Agustine Lumangkun dan Tien Handayani (dosen Fakultas Hukum UI dan Univ. Pancasila Jakarta) diminta secara khusus oleh DPRD Kalbar untuk menyusun naskah Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak di Kalbar tersebut.


Mereka melakukan studi banding, bersama DPRD Kalbar melakukan temuan atau dengar pendapat dengan LSM, aktivis dan para pihak terkait lainnya guna penyamaan persepsi. Perda yang merupakan usul inisiatif DPRD itu sempat pula menghadapi sandungan karena menunggu lahirnya Undang-undang No 21 tahun 2007.


Kalbar, menurut Dosen Fakultas Hukum UI itu, merupakan provinsi pertama di Indonesia yang dalam penyusunan Perda mengenai perdagangan orang, mengacu kepada UU No 21 tahun 2007. Selain Kalbar, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, juga telah memiliki Perda trafficking, namun baru akan menyesuaikan dengan UU No 21 tahun 2007 itu.


Isi dari Perda trafficking Kalbar, memuat jalur-jalur yang menjadi awal terjadi perdagangan orang. Meliputi jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan pengantin pesanan ke Taiwan, Hongkong, dan Korea oleh warga Tionghoa dari Kota Singkawang.


Penyebab utama perdagangan orang, meliputi persoalan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya lapangan pekerjaan dan minimnya akses informasi.


Sebanyak 8 fraksi di DPRD Kalbar, menyatakan menerima dan menyetujui ditetapkan Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak tersebut. Fraksi-fraksi juga menyarankan Pemprov Kalbar sesegara mungkin melaksanakan sosialisasi.


Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov Kalbar, Syakirman, menyatakan sosialisasi dimulai pada instansi terkait di lingkungan pemprov Kalbar dan akan dibentuk tim untuk turun ke kabupaten/kota.

Minggu, 22 Juli 2007

KALBAR BERSIAP HADAPI BENCANA ASAP

Oleh : Nurul Hayat

Pontianak, 22/7 (ANTARA) - Bencana kabut asap yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Kalimantan Barat pada 10 tahun lalu, telah mengakibatkan kerugian materi yang tidak sedikit, dan membuat jalur transportasi udara terganggu. Setelah kemarau 1997 itu, persiapan apa yang telah dilakukan untuk menghadapi fenomena siklus 10 tahunan ini?

Sejak kejadian pada 1997, bencana kabut asap terus berulang setiap tahunnya. Sehingga pada 2007 itu telah memasuki tahun ke-10.

Kekhawatiran pun muncul, akankah kejadian yang mirip 1997 berulang kembali? Meskipun pada 1997, terdapat pengaruh El Nino, gejala iklim periodik yang menyebabkan musim kemarau sangat panjang.

Untuk menghindari "hilangnya" langit biru dari bumi khatulistiwa, apa saja yang sudah dilakukan Kalbar menghadapi fenomena alam yang lebih banyak karena campur tangan manusia tersebut?

Pemerintah Provinsi Kalbar, menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Tri Budiarto, telah melakukan sejumlah upaya. Dari upaya yang dilakukan itu diharapkan dapat mengatasi dan mengurangi jumlah titik panas (hotspot) dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menjadi penyumbang utama munculnya kabut asap.

Ia mengatakan, Pemerintah Pusat --sama halnya dengan Kalimantan Barat-- mengharapkan agar tahun ini terjadi penurunan jumlah hotspot sebesar 50 persen dari sebanyak 25.910 titik panas pada 2005. Pemprov Kalbar melalui instansi teknis semisal Bapedalda, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan, berupaya meminimalisir titik panas tersebut.

Upaya yang dilakukan di antaranya dengan mengumpulkan pengusaha perkebunan dan kehutanan yang berizin operasi di wilayah Kalbar, serta jajaran pemerintah kabupaten/kota, untuk meminta komitmen para pihak tersebut agar benar-benar serius mengatasi persoalan kabut asap.

Ia mengatakan, Pemprov Kalbar mengharapkan perusahaan perkebunan dan pemegang izin HPH (hak pengusahaan hutan) agar segera memunculkan inisiatif dalam menanggulangi kabut asap. Mereka juga hendaknya dapat meningkatkan aktifitas pembangunan masyarakat, terutama yang bermukim dekat dengan wilayah mereka.

Bencana kabut asap yang terjadi pada 1997, hendaknya tidak kembali berulang di tahun ini. Karena dampak yang ditimbulkan dari bencana telah menyebabkan kerugian materi yang tidak sedikit. Termasuk protes dari pemerintah negara tetangga dan terganggunya transportasi udara.

Apalagi mengingat pada tahun ini juga terjadi perubahan iklim, dimana musim kemarau yang sedianya sudah berlangsung sejak Juni namun mundur dan diperkirakan baru terjadi pada awal Agustus. Karena itu, upaya penanggulangan terhadap bahaya kabut asap mesti harus tetap berjalan.

Selain dengan bertemu pada pengusaha bidang perkebunan dan kehutanan, belum lama ini Pemprov Kalbar telah mengaktifkan kembali keberadaan "Kelompok Peduli Api" di sejumlah kecamatan di Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak.

Kader atau Kelompok Peduli Api sangat berperan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, terutama memberikan penyadaran kepada masyarakat dan membantu tim pemadam api, Manggala Agni yang selalu siap di saat kemarau tiba.

Kelompok Peduli Api, sampai saat ini baru di sembilan kecamatan rawan kebakaran hutan dan lahan. Adapun sembilan kecamatan itu meliputi Sungai Raya, Sungai Kakap, Sungai Ambawang, Rasau Jaya, Terantang, Kubu, Pontianak Utara, Pontianak Selatan dan Pontianak Kota.

Namun di sisi lain, Tri Budiarto mengakui masyarakat yang tergabung dalam kelompok itu juga bertanya kepada Pemerintah.

Solusi apa yang bisa diberikan kepada mereka agar tidak lagi menggunakan pola pertanian bakar? Karena selama ini solusi yang diberikan baru secara mikro dan bukan makro. Dalam pengertian dapat menyelesaikan permasalahan pertanian mereka.

Kebakaran Hutan

Kabut asap yang selalu muncul di Kalimantan Barat, erat kaitan dengan adanya aktifitas "land clearing" atau pembersihan lahan dan hutan dengan cara membakar.

Selain itu, kegiatan pembakaran di lahan bergambut untuk usaha pertanian, selain karena faktor alam --terbakar karena panas matahari-- yang memang kecil kemungkinannya..

Sejak lama diketahui, pembersihan lahan dengan cara bakar merupakan upaya praktis yang dapat dilakukan perusahaan dalam menghemat pengeluaran biaya "land clearing".

Sementara bagi masyarakat, pembakaran lahan saat memulai pertanian, adalah untuk meningkatkan kesuburan tanah gambut, sehingga mengurangi penggunaan pupuk yang bernilai ekonomi tinggi.

Fakta di lapangan juga menunjukkan ada dua pengguna lahan yang berpotensi membakar saat "land clearing", yakni perkebunan skala besar seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Kemudian petani atau peladang skala kecil pada luasan kurang dari 2 hektar.

Sebagian besar lahan yang terbakar adalah lahan pertanian dan bukan hutan. Selain itu, sebagian besar lahan yang terbakar dan menjadi penyebab asap tebal adalah lahan gambut.

Menurut Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Lahan Basah Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat memiliki ekosistem rawa gambut yang diperkirakan mencapai 1,1 - 1,6 juta hektar atau 11,4 persen dari luas wilayahnya.

Kabupaten Pontianak, Ketapang dan Kapuas Hulu, merupakan daerah yang memiliki lebih dari 300 ribu hektar gambut.

Ekosistem rawa gambut, berperan penting bagi perekonomian dan perkembangan kehidupan. Fungsi ekologi yang dimilikinya menghasilkan jasa lingkungan yang bernilai tinggi, semisal sebagai pengatur suplai air tawar dan pemijahan berbagai spesies ikan sungai.

Namun hutan rawa gambut yang dikeringkan dan terbuka, sangat rentan terjadi kebakaran dan dampak kerusakan ekosistem gambut, salah satunya menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat karena polusi asap lintas negara.

Kebakaran hutan dan lahan gambut, telah menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar ke-3 dalam menyumbangkan emisi gas Carbon Dioksida (CO2) setelah Amerika Serikat dan China.

Sementara menurut Protokol Kyoto, CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca selain, CH4 (Metana) dan N2O yang menjadi penyumbang terbesar bagi pemanasan global.

Menurut Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL) Kalbar, kebakaran hutan bersumber pada tiga sebab utama, yakni manusia karena kesengajaan, manusia karena kelalaian, dan peristiwa alam.

Kebakaran hutan hanya dapat terjadi apabila terdapat nyala api, sedangkan proses nyala api dapat berlangsung apabila ada tiga unsur, yakni bahan bakar, udara dan sumber api.

Masih menurut KAIL, hasil penelitian yang dilakukan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor terhadap kebakaran hutan di Indonesia, menunjukkan sebagian besar asap yang ditimbulkan dari lahan gambut yang berada di Kalbar, Kalimantan Tengah dan Riau.

Asap muncul karena pembakaran lahan gambut yang tidak sempurna. Jika, proses pembakaran tidak sempurna dengan indikasi tingginya kadar air, maka munculah asap.

Produk hukum

Selain melalui upaya sosialisasi, penyuluhan, dan pembinaan dengan dana terkumpul dari tiga instansi --Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Bapedalda-- hanya Rp1 miliar, Pemprov Kalbar juga telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No. 6 tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.

Peraturan Daerah tersebut, mewajibkan setiap orang dan badan usaha yang berlokasi atau bertempat tinggi, jalan di dalam dan/atau sekitar hutan dan lahan, hendaknya berhati-hati, mewaspadai dan mencegah serta menghindari kegiatan yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan.

Peraturan Daerah itu juga melarang setiap orang membuka lahan dengan cara membakar, merusak/menghilangkan rambu-rambu peringatan dan menyalakan api di sekitar hutan dan lahan yang berpotensi menimbulkan kebakaran. Badan usaha, dilarang membuka lahan dengan cara membakar.

Pelanggar Perda tersebut dapat dikenakan Pidana kurungan maksimal enam bulan dan denda maksimal Rp50.000.

Produk hukum lainnya yang bisa dipergunakan untuk menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan adalah Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001, tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan yang berkaitan dengan Karhutla.

Pada PP tersebut, setiap orang dilarang melakukan pembakaran hutan dan/atau lahan. Pelarangan itu tertuang dalam Pasal 11. Peraturan Pemerintah itu juga mewajibkan setiap orang mencegah terjadi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan/Karhutla (pasal 12), menanggulangi Karhutla di lokasi kegiatan (pasal 17) dan melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup apabila mengakibatkan terjadinya Karhutla (pasal 20).

Dalam Pasal 16 PP, menekankan kewajiban pejabat berwenang yang memberi atau mengeluarkan izin usaha memperhatikan; kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan lahan sebagai sumber daya alam, kesesuaian lahan dengan tata ruang, pendapat masyarakat dan kepala adat, dan pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat berwenang lainnya.

Pelanggar PP tersebut dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Undang-undangan No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan memberi ganti rugi.

Pelanggaran yang merugikan orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi/atau melakukan tindakan tertentu. Hakim dapat menetapkan uang paksa atas tiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tersebut.

Produk hukum lain yang juga menjadi landasan dan dasar hukum bagi pelanggaran Karhutla, yakni UU No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Semua produk hukum yang mengatur itu sudah ada, tinggal bagaimana mengimplementasikannya. Perlu keberanian, kerjasama, dan koordinasi semua pihak (baik instansi/dinas maupun masyarakat petani/pengusaha) untuk melaksanakannya. Bagaimana pun juga, langit biru adalah dambaan kita semua.

Jumat, 20 Juli 2007

Tumpang Negeri Simbol Interaksi Manusia dengan Alam dan Revitalisasi Identitas Melayu

Oleh: Muhlis Suhaeri

Seperti juga suatu zat, ia pun melebur dan luruh dengan alam. Menjadi satu satu kesatuan dalam interaksi. Padu. Itulah makna filosofi dari acara Tumpang Negeri. Yang diselenggarakan Keraton Ismahayana, Landak, Kalimantan Barat.

Empat puluh tumpang dilarung ke segala penjuru negeri. Satu diantaranya diberi nama Tumpang Agung. Semua tumpang diantar serentak. Menuju pertemuan muara sungai, persimpangan jalan, rumah tua bersejarah, dan ke 10 kecamatan di Kabupaten Landak. Prosesi mengantar tumpang dilakukan antara pukul 15.00-17.00. Khusus untuk Tumpang Agung, dilarung dari muara keraton, menuju hilir sungai Landak.

Setiap tumpang terdiri dari seekor ayam kampung jantan yang telah dipanggang, anyaman daun kelapa muda berbentuk keranjang, seperangkat jajanan pasar, nasi pulut aneka warna, pulut rasul, setanggi wangi dan dupa menyan.

Upacara Tumpang Negeri dipenuhi berbagai persyaratan dan spiritualitas. Bila syarat tidak dilaksanakan, dipercaya dapat menimbulkan akibat tak diinginkan. Salah satu contoh, ayam yang digunakan untuk upacara, harus ayam kampung. Yang merupakan perlambang dan mempunyai sifat, selalu berusaha mencari makan sepanjang hari. Dan itu dilakukan semenjak subuh hari. Begitupun manusia dalam menjalani hidupnya. Harus berusaha mandiri. Tidak perlu menunggu disantuni, atau mengharap bantuan orang lain. Pulut rasul merupakan simbol kerekatan sosial. Bahwa dalam masyarakat, harusnya bersatu seperti pulut. Kenyal dan tidak kaku. Tapi, ia terekat dalam satu kerekatan. Kue tradisional, merupakan wujud dari kesejahteraan.

”Tumpang Negeri merupakan kegiatan, yang berawal dari kearifan lokal orang Melayu, atau orang laut di Kabupaten Landak,” kata Drs. Gusti Suryansyah, MSi, Pangeran Ratu Keraton Ismahayana, Landak.

Kearifan lokal merefleksikan, manusia bukanlah mahluk berkuasa. Ketika terjadi bencana alam, manusia tidak bisa menghindar. Menyadari manusia mahluk lemah, supaya manusia menjadi kuat, ia harus berinteraksi dengan alam. Bekerja sama dengan alam, jauh lebih baik daripada menaklukan alam.

Alam ada dua. Alam gaib dan nyata. Kearifan lokal masyarakat setempat, manusia harus bisa berinteraksi dengan alam gaib. Melalui upacara Tumpang Negeri, masyarakat seolah ingin memberi tahu, bahwa mereka akan melaksanakan perhelatan besar selama setahun.

Tujuannya, supaya semua diberi kemudahan dalam melakukan sesuatu. Yang bertani mengharapkan kemudahan dalam bercocok tanam. Bagi yang bekerja di sektor usaha, dimudahkan dalam berusaha. Dan berbagai kemudahan dalam menjalankan aspek hidup lainnya. Masyarakat menginginkan ”mereka” yang berada di alam gaib ikut menjaga, ketika manusia menggunakan sungai dan menggunakan jalan, tidak diganggu. Bagi sebagian besar masyarakat Kalimantan, sungai merupakan urat nadi kehidupan. Jalur perekonomian dan transportasi.

”Kita meminta kepada Tuhan, yang berkuasa atas mahluk-mahluk, supaya urat nadi kehidupan ini tidak diganggu,” kata Suryansyah. Jadi, bukan meminta kepada alam gaib. Bila meminta pada alam gaib, sifatnya menjadi sirik dan menyekutukan Tuhan. Itulah, makna filosofinya.
Acara Tumpang Negeri, mempunyai dua dimensi. Pertama, merupakan suatu doa, supaya terhindar dari segala balak, bencana alam dan penyakit. Kedua, permohonan keselamatan dan kesejahteraan. Supaya tahun mendatang, segala kehidupan akan lebih baik dan sejahtera.

Pelaksanaan Tumpang Negeri, biasanya dilaksanakan pada akhir atau awal tahun, berdasarkan situasi alam. Biasanya melihat tanda hujan. Itu menjadi syarat untuk penentuan acara. Kalau hujannya banyak atau sedikit, ada penentuannya. Hal itu merupakan upaya menyiasati tanda-tanda alam. Sifat acara ini tolak balak. Bila hujan terlalu banyak, maka dengan pelaksanaan Tumpang Negeri, tidak akan terjadi banjir. Tapi, kalau tidak turun hujan, diharapkan bisa turun.

Dalam 3 tahun terakhir, ada kesepakatan, acara dilaksanakan berdasarkan tanggal pengukuhan Pangeran Ratu, 24 Januari. Momentum ini memanfaatkan dua dimensi. Selain tolak bala, juga bagi keselamatan. ”Kita tidak mengedepankan ulang tahun pengukuhan kepangeranan. Tetapi mengedepankan acara proses adat, yang menjadi milik masyarakat,” kata Suryansyah.

Upacara Tumpang Negeri, harus didahului sedekah kampung. Selama 3 hari inilah, masyarakat diberi kegembiran dengan berbagai festifal seni, olah raga dan hiburan lainnya. Ada lomba sampan, pencak silat, pertunjukkan hadrah dan jepin, festival makanan tradisional, dan lainnya.
Hari itu, 24 Januari 2006, upacara Tumpang Negeri merupakan puncak berlangsungnya acara. Sebelum mengantar tumpang, masyarakat melakukan ziarah ke makam ke Raja Abdul Kahar atau Ismahayana, biasa disebut juga Iswara Mahayana. Yang merupakan pendiri kerajaan Landak. Makam itu terletak di desa Munggu. Acara diikuti kerabat kerajaan, pemuka agama dan masyarakat.

Menurut M. Natsir, Staff Pembantu Pimpinan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, nama kerajaan Landak muncul dalam kitab Negara Kertagama pada 1365. Kitab itu ditulis Empu Prapanca semasa raja Hayam Wuruk memerintah di Majapahit. Kerajaan Landak muncul setelah salah seorang bangsawan Singasari menuju Kalimantan. Dan membuka pusat pemerintahan awal di sana. Bangsawan itu dikenal dengan nama Ningrat Batur atau Angrat Batur. Dari sinilah, muncul Ratu Sang Nata Pali I, hingga Ratu Sang Nata Pulang Pali VII.

Dari Ratu Sang Nata Pali VII dengan permaisuri Dara Hitam, lahirlah Raden Iswara Mahayana. Setelah orang tuanya mangkat, ia diangkat menjadi raja pada 1472, dengan gelar Raja Adipati Karang Tanjung Tua. Setelah memerintah, ia memindahkan ibukota kerajaan ke kaki bukit, dan berhadapan dengan sungai Menyuke. Yang merupakan percabangan sungai Tenganap atau sungai Landak. Lokasi baru itu berkembang menjadi ibukota kerajaan dan diberi nama Kota Ayu atau Munggu. Nah, pada masa pemerintahan Raja Adipati Karang Tanjung Tua (1472-1542) inilah, agama Islam masuk dan berkembang dengan pesat di kerajaan Landak.

Dari kerajaan Landak, muncul beberapa pejuang kemerdekaan. Salah satunya, Pangeran Natakusuma. Ia mendapat Satya Lencana dari pemerintah pusat, karena memimpin pemberontakan blusting (bahasa Belanda yang berarti pajak/upeti). Ia mengorganisir pertemuan dengan berbagai suku lainnya, untuk melawan penerapan pajak yang dilakukan Belanda. Pangeran Natakusuma kalah dalam persenjataan. Akhirnya, ia dibuang ke Bengkulu.

Sejak tahun 1946, muncul UU tentang penghapusan status Swapraja. Dengan sendirinya seluruh pemerintahan kerajaan, tidak memiliki eksistensi pemerintahan, kecuali keraton Yogyakarta. Tak heran bila pengukuhan Gusti Suryansyah pada 24 Januari 2000, ada yang menganggap sebagai munculnya feodalisme baru, dan mengembalikan romantisme kerajaan.

Memang ada yang menanggapi dengan sinis, tetapi ada juga harapan. Lalu, apa pendapatnya terhadap tudingan ini? ”Saya ingin mengkritisi itu. Feodalisme merupakan terminologi yang digunakan oleh raja-raja di Eropa. Dengan penguasaan tanah luas,” kata Suryansyah. Menurutnya, sejarah kerajaan Landak, bukan sejarah feodalisme. Kerajaan Landak sama dengan kerajaan Yogyakarata. Yang berjuang demi kemerdekaan.

Bedanya, sekarang ini keraton Yogyakarta masih memiliki berbagai pusaka dan tanah luas, sementara keraton Landak, sebaliknya. Tanah tinggal tersisa beberapa ratus meter di sekitar keraton saja. Pusaka keraton tinggal satu keris dan dua tombak. Keris itu bernama Si Kanyit. Ada dimensi dongeng melingkupi keberadaannya. Keris itu didapat, ketika hanyut, bukan menghiliri sungai landak, tetapi menuju ke hulu sungai Landak. Namanya juga mitos. Boleh percaya, boleh juga tidak. Dulunya, keris itu bertahtakan intan berlian. Maklum, Landak merupakan penghasil intan dari dulu hingga sekarang. Namun, karena keris telah berpindah tangan beberapa generasi, intan itu tak melekat lagi pada keris pusaka. Dua pedang pusaka pembuatannya seperti keris. Ada pamornya. Pedang pertama mempunyai pamor Satria Piningit, dan pedang kedua Pancur Emas.

Menurut Syarif Ibrahim Alqadri, seorang profesor dan guru besar ilmu sosiologi di Universitas Tanjung Pura (Untan), Pontianak, tampilnya kembali Pangeran, Sultan, atau pimpinan ikatan keluarga kesultanan hampir di semua wilayah Nusantara, merupakan revitalisasi dalam dinamika politik Melayu secara kongkret. Revitalisasi adalah proses, atau kondisi bangkitnya kembali suatu kelompok agama, etnis atau sosial lainnya. Dan menampilkan kekuatan, energi, jiwa atau semangat baru dalam berhadapan dengan kelompok lain. Revitalisasi pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai kesadaran etnik yang bersumber dari luar. Ia merupakan jawaban atau reaksi logis dari realitas sosial yang terjadi di sekeliling kelompok bersangkutan. Yang diciptakan kelompok lain, pemerintah atau bangsa lain.

Dalam jaman yang kian menglobal seperti sekarang ini, makna dan identitas juga menjadi ciri tersendiri dalam menghadapi perubahan itu. Nah, seandainya mengantar Tumpang Negeri, dianggap sebagai kembali ke feodalisme, Gusti Suryansyah tidak keberatan dalam hal ini. Sebagai bagian dari bangsa, rasanya tidak ada larangan untuk ikut serta dalam proses pembangunan, katanya. Ini merupakan wujud kongkret, mereka bereaksi terhadap kosmopolitan dan globalisasi Caranya, ”Dengan tetap konsisten terhadap nilai tradisional yang pernah hidup dan dipertahankan saat ini,” kata Suryansyah.*

Kamis, 12 Juli 2007

TINGGI GELOMBANG LAUT MENCAPAI 3-6 METER PADA 11-13 JULI

Pontianak, 12/7 (ANTARA) - Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Maritim Klas I Tanjung Priok mengeluarkan "Peringatan Dini" mengenai tingginya gelombang laut di wilayah Indonesia yang mencapai 3-6 meter pada 11-13 Juli, sehingga nelayan pengguna kapal-kapal kecil hendaknya dapat berhati-hati saat melaut.

Prakirawan cuaca Stasiun Meteorologi Maritim Pontianak, A Hartono, Kamis, menyatakan tingginya gelombang laut itu juga dapat dirasakan para nelayan Kalimantan Barat, terutama yang mencari ikan di sekitar Laut Jawa. "Ketinggian gelombang laut Jawa, diperkirakan mencapai 3 meter. Meski hanya terkena imbas, namun tingginya gelombang dapat mengancam keselamatan nelayan pengguna kapal kecil," jelasnya.

"Peringatan Dini" yang dikeluarkan BMG Stasiun Meteorologi Maritim Klas I Tanjung Priok, menyebut wilayah laut berpeluang gelombang setinggi 3-6 meter pada 12 Juli, meliputi Perairan Barat dan Barat Laut Aceh, Laut Andaman, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia Barat Daya Bengkulu dan Lampung, Laut Sawu, Perairan Selatan Rote, Laut Timor, Laut Banda, Laut Buru, Laut Seram, Laut Maluku, Perairan Selatan Maluku, Perairan Kepulauan Kai dan Tanimbar, Perairan Selatan Fakfak, Laut Aru, Laut Arafuru, Samudera Pasifik, Utara Irian, Perairan Merauke, dan Teluk Carpentaria. Dengan arah angin rata-rata dari tenggara ke barat daya dengan kecepatan 28-46 km/jam.

Wilayah yang berpeluang tinggi gelombang 3-6 meter pada 13 Juli, meliputi Perairan Barat dan Barat Laut Aceh, Laut Andaman, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia Barat Daya Bengkulu dan Lampung, Samudera Hindia Barat Daya Jawa Barat. Perairan Selatan Rote, Laut Timor, Laut Banda, Laut Buru, Laut Seram, Perairan Selatan Maluku, Perairan Kepulauan Kai dan Tanimbar, Laut Aru, Laut Arafuru dan Teluk Carpentaria. Arah angin rata-rata dari tenggara menuju barat daya dengan kecepatan 28-46 km/jam.

Hartono menyatakan saat ini terjadi pergeseran musim. Namun pergeseran musim itu masih dinilai normal. Biasanya musim kemarau berlangsung sejak Juni hingga Agustus. Namun saat ini baru muncul monsun (yang menyebabkan musim) tenggara yang sifatnya kering dari Australia, sehingga diperkirakan kemarau baru akan terjadi di Kalbar pada Juli ini.

"Kita sendiri dapat merasakan hujan deras masih turun di Kalbar pada Juni lalu. Padahal biasanya pada bulan itu sudah musim kemarau. Ternyata musim kemarau baru muncul bulan Juli," jelasnya.

Berdasarkan Stasiun Meteorologi Maritim Pontianak, prakiraan cuaca untuk pelayaran rakyat di Kalbar pada Kamis-Sabtu (12-14/7), di wilayah Perairan Natuna, kecepatan angin berkisar 4-17 knot, tinggi gelombang 0,8 meter-2,6 meter, dengan jarak pandang 4-16 kilometer.

Untuk wilayah Perairan Pontianak, kecepatan angin 3-15 knot, tinggi gelombang 0,5-1,9 meter dengan jarak pandang 3-15 kilometer. Wilayah perairan Sambas dengan kecepatan angin 3-12 knot, tinggi gelombang 0,4-1,4 meter, jarak pandang 4-16 kilometer.

Wilayah Perairan Ketapang dengan kecepatan angin 4-16 knot, tinggi gelombang 0,5-1,9 meter dengan jarak pandang 4-18 kilometer. Wilayah perairan Karimata dengan kecepatan angin 6-19 knot, tinggi gelombang 0,8-2,9 meter, dan jarak pandang 4-18 kilometer.

Sedangkan wilayah perairan Laut Jawa, kecepatan angin mencapai 5-20 knot, tinggi gelombang 1,4-3,4 meter dan jarak pandang 4-17 kilometer.

Berkaitan dengan "menyambut" kemarau 2007, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kalbar, mencatat hasil pemantauan satelit NOAA-16, adanya titik panas pada sejumlah kabupaten di daerah tersebut.

Titik panas atau hotspot yang terlihat pada 29 Juni lalu ada di Kabupaten Bengkayang 2 titik dan Sambas 1 titik. Kemudian pada 2 Juli di Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak 4 titik, pada 3 Juli di Kabupaten Sanggau dua titik, pada 5 Juli di Sambas 2 titik dan Kapuas Hulu 4 titik, dan pada 8 Juli di Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak 3 titik.

"PEREMPUAN PUNAN DAN TATO" DALAM PAMERAN SENI RUPA NUSANTARA DI GALERI NASIONAL

Pontianak, 12/7 (ANTARA) - Tato pada perempuan Punan, ciri yang membedakan keberadaan suku itu dengan suku-suku Dayak yang ada di Kalimantan, ikut dalam Pameran Seni Rupa Nusantara pada Galeri Nasional, Jakarta, 11-27 Juli mendatang.


Foto mengenai tato perempuan Punan tersebut merupakan karya Fotografer asal Kalimantan Barat, Sugeng Hendratmo (42).

Sugeng yang saat dihubungi sedang berada di Jakarta, Kamis, mengatakan, ikut serta dalam pameran tersebut setelah lolos dalam seleksi yang dilakukan oleh para kurator nasional.

Ia sengaja memilih foto yang bercerita tentang tato pada perempuan Punan dari sekitar 100 karya master tentang budaya yang dimilikinya.

Dipilihnya foto Perempuan Punan dan Tato tersebut, bukan tanpa alasan. "Saya menyadari, saat ini budaya itu hampir punah," katanya.

Menurut dia, obyek yang diambil dalam karya foto itu, adalah tangan seorang perempuan yang sudah berusia 80-an tahun yang memegang bulu burung enggan.

Foto tersebut menggambarkan krisis budaya yang ada di Indonesia yang akan punah.

"Salah satu budaya yang akan punah itu ada di suku Ovongan yang tinggal di Tanjung Lokang (Kabupaten Kapuas Hulu-red). Saat ini hanya ringgal enam perempuan yang bertato. Mungkin 10 tahun yang akan datang, tradisi tato pada perempuan Punan itu sudah hilang," kata fotografer yang kaya pengalaman mengabadikan budaya dan alam Kalbar dalam obyek foto tersebut.

Menurut dia, mengabadikan obyek itu mengingatkan masyarakat agar tidak meninggalkan budaya warisan leluhur mereka.

"Selain enam perempuan bertato itu, saat ini tidak ada lagi generasi penerus yang mengikuti dan mempertahankan budaya itu," kata Sugeng yang menyatakan sempat vakum dari aktivitas melukis karena "tergila-gila" dengan dunia fotografi.

Pameran Seni Rupa Nusantara yang dibuka di Galeri Nasional Jakarta, Rabu malam itu berlangsung hingga 27 Juli mendatang.

Rabu, 11 Juli 2007

MISI RPJPN INDONESIA 2005-2025 DIJABARKAN BERTAHAP DALAM RPJM

Pontianak, 11/7 (ANTARA) - Delapan misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dijabarkan secara bertahap dalam periode lima tahunan atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

"Visi RPJPN 2005-2025 Indonesia, adalah Indonesia yang maju, mandiri, adil dan makmur. Visi tersebut direalisasikan melalui delapan misi pembangunan," kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, H. Paskah Suzetta dalam sambutan Sosialisasi RPJPN tahun 2005-2025 yang dibacakan Inspektur Utama Bappenas, Bagus Rumbogo AK, di Pontianak, Rabu.

Sosialisasi RPJPN kali ini diikuti jajaran pemerintah daerah pada empat provinsi di Kalimantan, dan merupakan sosialisasi ketujuh setelah disahkannya Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 pada Januari lalu.

Menurut Menteri, acara sosialisasi, merupakan media untuk memberikan informasi secara langsung kepada seluruh jajaran pemerintahan daerah dan pemangku kepentingan, serta masyarakat luas mengenai isi RPJPN 2005-2025.

"Dengan diterbitkannya UU tentang RPJPN, maka pemerintah dan bangsa Indonesia secara keseluruhan telah memiliki acuan pembangunan untuk 20 tahun ke depan," jelasnya.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, menurutnya, merupakan pelaku sejarah dalam penyusunan rencana pembangunan RPJPN, karena memiliki sejarah cukup panjang ketika naskah awal mulai disiapkan oleh Bappenas pada tahun 2002 lalu.

Hal itu disusul dengan proses konsultasi publik dan mendapat masukan dari berbagai pihak termasuk para pakar keilmuan, dan disampaikan kepada DPR RI pada awal 2005 dan disetujui menjadi undang-undang pada tahun ini.

Menurut Menteri lagi, RPJPN 2005-2025 berisi visi, misi, arah, tahapan dan prioritas pembangunan dalam berbagai bidang yang berdimensi jangka panjang, serta penjabaran dan pelaksanaan RPJPN 2005-2025 ke dalam empat periode.

Empat periode yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), terdiri dari tahap pertama tahun 2005-2009, tahap kedua 2010-2014, tahap ketiga 2015-2019 dan tahap keempat 2020-2024.

Adapun tahapan skala prioritas utama dan strategi RPJM itu, meliputi RPJM ke-1, diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang, yang ditujukan menciptakan Indonesia aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat.

RPJM ke-2, ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang. Menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan serta penguatan daya saing perekonomian.

RPJM ke-3 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang. Ini dilakukan dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif, perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam, dan sumber daya manusia berkualitas, serta kemampuan iptek yang terus meningkat.

Sedangkan RPJM ke-4, ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang, dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh, berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumberdaya manusia berkualitas dan berdaya saing.

AJI PONTIANAK KECAM REKOMENDASI RAKERNAS APPSI

Oleh: Teguh Imam Wibowo

Pontianak, 11/7 (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak menolak salah satu rekomendasi Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) kepada Presiden agar kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah tidak diizinkan untuk diekspos ke publik demi menjaga citra dan legitimasi Pemerintah di mata masyarakat yang cenderung merosot dalam beberapa tahun terakhir.

"Publik berhak untuk tahu dan hal itu tidak dapat dihindari," kata Sekretaris AJI Pontianak, M Aswandi di Pontianak, Rabu.

Ia menambahkan, menjadi resiko seorang pejabat publik untuk mendapat perhatian yang lebih besar dari masyarakat termasuk hal-hal pribadi meski secara etis kurang tepat.

Menurut dia, apabila pejabat publik yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan dan melanggar aturan hukum yang berlaku, tentu tidak perlu merasa ketakutan apabila mulai "bersentuhan" dengan aparat penegak hukum.

"Rekomendasi yang ingin memperbaiki citra pemerintah di mata masyarakat itu dapat berbalik menjadi semakin menjatuhkan citra pemerintah," ujar kontributor salah satu media elektronik nasional itu.

Hal itu, lanjut Aswandi, menunjukkan bahwa masyarakat sudah jenuh dan bosan dengan sikap pejabat publik yang memanfaatkan jabatan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi maupun segelintir orang.

"Seharusnya, pejabat publik meniru rekan mereka yang memang memiliki prestasi di tingkat lokal maupun nasional dalam memimpin daerah serta pemberantasan korupsi. Bukan menyalahkan proses penegakan hukum," katanya.

Ia juga mengingatkan media massa untuk mematuhi etika jurnalistik seperti hanya mencantumkan inisial nama seseorang yang diduga melakukan kejahatan hingga putusan yang sifatnya tetap.

"Konsistensi untuk hanya mencantumkan inisial sepatutnya dilakukan media massa dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah," kata Aswandi.

Sebelumnya, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) APPSI di Pontianak yang berlangsung 9-11 Juli, salah satu rekomendasi tersebut terkait dengan maraknya kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana.

Sekretaris Jenderal (Sekjend) APPSI, Yeremias T Keban, usai Rakernas mengatakan, ekspos ke publik disarankan ditunda hingga kasus dimaksud memenuhi syarat untuk diajukan ke pengadilan dan pelakunya ditetapkan sebagai terdakwa.

Menurut dia, gencarnya penegakan hukum dalam membasmi korupsi di daerah membuat Gubernur maupun Bupati/Walikota kesulitan untuk mengambil kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi setempat.

Dukungan dari Presiden terkait dengan rekomendasi tersebut dapat berupa Instruksi Presiden (Inpres) atau sejenisnya yang mendukung kepala daerah dalam mengembangkan kreatifitas untuk membangun daerah masing-masing.

Yeremias yakin keinginan APPSI tersebut tidak akan memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat.

Ia mencatat setidaknya terdapat empat gubernur yang masih tersangkut kasus dugaan korupsi seperti Usman Ja'far (Kalbar), Mardiyanto (Jawa Tengah), Ali Mazi (Sulawesi Tenggara) dan Danny Setiawan (Jawa Barat).

Ketua Umum APPSI, Sutiyoso di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pembukaan Rakernas APPSI di Pontianak, Senin (9/7) meminta adanya kebijakan khusus dalam penanganan korupsi yang diduga melibatkan kepala daerah.

Ia mengatakan, dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan kepala daerah, cenderung menimbulkan pemberitaan yang tendensius.

"Permasalahan timbul saat pada penanganan korupsi disambut politisasi yang berujung tendensius serta memperkeruh suasana sehingga menimbulkan ketidakstabilan dan ketidakefektifan pemerintahan di daerah," ujar Sutiyoso.

PERNIK NUSANTARA DALAM PAMERAN SENI RUPA SE-INDONESIA

Pontianak, 11/7 (ANTARA) - Puluhan karya seni rupa dari sejumlah provinsi dipertunjukan dalam Pameran Seni Rupa se-Indonesia yang berlangsung di Museum Negeri Kalimantan Barat, 8 - 13 Juli 2007.

Karya seni yang dipajang dalam gedung Museum Negeri Kalbar itu, di antaranya lukisan berjudul "Meniti Garis Tradisional Kalbar" karya A Halim Rahman, "Pasar Terapung" karya Rizali Noor dari Kalimantan Selatan, "Jermal yang Masih Panjang" karya Mirza Adrianus (Sulawesi Selatan).

Seorang peserta dari Kalbar, Sugeng Hendratmo, 43, Rabu malam, menyatakan pada pameran tersebut ia menampilkan dua karya berjudul "Polling Para Badut" dan "Happy and Sad".

Ia menyatakan sejak dua tahun belakangan ia berkonsentrasi pada karya bertema kritik sosial. Dalam "Polling Para Badut", Sugeng mengritik cara para elit politik daerahnya dalam mengundang simpati masyarakat untuk persiapan menghadapi pemilihan kepala daerah November mendatang.

"Saya melihat ada kelucuan. Calon kepala daerah mengikuti 'polling'. Kalau ingin mendapat perhatian masyarakat, semestinya mereka menawarkan visi dan misi yang sejalan dengan keinginan masyarakat," katanya.

Karena itu pula, pada karya tersebut, Sugeng menampilkan simbol wajah para elit politik yang berlomba-lomba mengejar prosentase perolehan suara melalui polling yang disiarkan media massa.

Sementara melalui karya berjudul "Happy and Sad", Sugeng mencoba melukiskan bahwa saat ini hanya sedikit orang yang hidup senang dan lebih banyak orang yang merasakan kesusahan dalam hidupnya.

"Sehingga wajah orang senang yang ditampilkan dalam lukisan itu, tidak sebanyak wajah yang sedang bersedih," jelasnya.

Sugeng menampilkan dua karya dengan media cat minyak dan kanvas itu pada bingkai berukuran 70x70 cm.

Selain karya pelukis kelahiran Pontianak tersebut, terdapat karya pelukis dari Ambon, Nicolas Manuputty, berjudul "Celo dan Topeng", pelukis asal Jawa Timur, Agus Koecink berjudul "Karya Wi Bangga" dan "Pop AH", pelukis asal Kendari, A Muhamad Arsyad berjudul "Hikmah Sholat" dengan media kayu ukuran 40x55 cm, asal Tanjung Karang (Bandar Lampung), Thomenk, berjudul "Kunci".

Juga terdapat karya dari pelukis asal Papua, Luis Ambiri, dengan judul "Air Sungai", "Goa Pinggiran Lau", "Panorama", dan "Pesisir Pantai".

Dari Sulawesi Tenggara, berjudul "Sope-Sope" dan "Rumah Nelayan" dengan media kulit telur, karya Najamuddin, dan dari Bengkulu berjudul "Menanti 2", karya Kojoen dengan media campuran cat, kayu dan keran air.

Kemudian dari Nusa Tenggara Barat, menampilkan 10 wayang dari suku Sasak. Terdiri dari Samtanus, Tamtanus, Raja Nursiwan, Munigarim, Jayeng Rana, Umar Maya, Umar Madi, Selandir, Lurah, dan Gunungan.

Pelukis asal Kalbar yang juga ikut memamerkan karyanya, Eugene Yohanes Palaunsoeka, Joni Putra dengan karya berjudul "Menatap Cakrawala", Zul MS dengan karya berjudul "Black Orchid", Drs M Zain berupa seni pahat kayu khas Dayak, Syamsul Rizal berjudul "Berlayar".

Pameran seni rupa tersebut diadakan berkaitan dengan Temu Taman Budaya se-Indonesia yang berlangsung sejak 8-13 Juli di Pontianak.

Senin, 09 Juli 2007

MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT MELALUI CREDIT UNION

Oleh: Nurul Hayat

Ny. Hadiah (50) dan suaminya, Ariadi (53) terlihat tekun membuat anyaman daun nipah, guna menyambung atap rumah mereka yang pada Minggu (8/7) akan ramai dikunjungi tetamu.

"Anak saya yang nomor dua akan menikah. Silakan datang," kata perempuan dengan tiga anak warga Dusun Parit Cik Mina, Desa Sungai Itik, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak, Kalbar, Sabtu pekan lalu.

Tak ada yang istimewa di rumah seukuran tipe-45 KPR-BTN itu. Kursi tamu dengan kain pembungkus bewarna coklat tua terlihat mulai reot karena aus. Kursi tersebut tampak menghiasi ruang tamu berukuran 6 x 3 meter.

"Silakan duduk, beginilah rumah kami. Tidak ada persiapan apa-apa. Seadanya saja," kata Hadiah, kembali berbasa-basi. Pembicaraan pun kemudian beralih mengenai 'credit union'.

Ny. Hadiah menyambut antusias pembicaraan itu, karena ia sendiri telah menjadi anggota aktif CU (credit union) selama empat tahun, dan mengaku telah mendapatkan manfaatnya.

Kalau soal CU, ia menyatakan senang membicarakannya. Karena keberadaan CU telah membantu keluarganya mempertahankan kelangsungan hidup sebagai petani. "Saya sudah dua kali meminjam uang melalui CU. Tidak banyak, sekali untuk membeli tanah dan satunya lagi untuk membeli motor," kata Hadiah sambil tersenyum.

Bersama Hadiah, tampak duduk petani lain, Taksiah, 39. Ia pun tak berbeda jauh dengan Hadiah, telah pula memanfaatkan jasa CU untuk mengembangkan lahan pertanian keluarganya.

"Saya sudah tiga kali meminjam. Dua kali untuk membeli tanah dan sekali membeli motor," kata perempuan yang lahir dan besar di Parit Cik Mina itu.

Menurut Taksiah, menjadi anggota CU memberinya kemudahan dalam mendapatkan modal usaha. Jika melalui lembaga keuangan lain, semisal perbankan, mesti dengan agunan berupa sertifikat tanah dan rumah atau lainnya. Melalui CU, setiap anggota dapat meminjam asalkan memiliki tabungan.

"Yang penting kita menabung secara rutin. Uang tabungan yang ada menjadi syarat peminjaman sebesar 250 persennya," kata perempuan berambut sebahu itu.

Taksiah mengatakan, dia telah dua kali meminjam untuk membeli tanah. Pinjaman pertama sebesar Rp15 juta pada tahun 2004, disusul dengan peminjaman kedua dengan besar yang sama setahun kemudian. "Saat ini pun saya sedang melunasi peminjaman ketiga yang digunakan untuk membeli motor," katanya.

Karena telah memiliki motor, Hadiah maupun Taksiah tidak perlu susah-susah lagi mencicil pembayaran kredit di CU Muare Pesisir pada setiap bulannya. Karena dengan mengendarai motor, perjalanan sejauh tiga kilometer dari tempat tinggal mereka terasa dekat.

Hadiah menyatakan, meski hidupnya terlihat sederhana, namun rutinitas menabung di 'credit union' selalu dilakukan setiap bulan, entah berapa pun besar uang yang disetorkannya. "Kalau ada banyak uang, saya berusaha menabung lebih, sekalian menyicil kredit. Tetapi kalau hanya punya uang Rp20 ribu pun, tetap ditabung," katanya.

Sementara Taksiah, menambahkan, ia menggunakan uang hasil pinjaman melalui CU untuk membuat tambak ikan betutu di parit depan rumahnya. Pengembangan ikan sudah dimulai sejak lima bulan lalu. Banyak pembeli datang dari Kota Pontianak. Ada di antara mereka memesan benih ikan milik Taksiah.

Hadiah dan Taksiah, sama-sama anggota Credit Union Muare Pesisir. Lembaga ini didirikan oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri (Gemawan) dan Jaringan Rakyat Kakap (JRK) pada 10 Mei 2003. Lembaga itu merupakan CU pertama yang didirikan oleh masyarakat pesisir Kalimantan Barat.

Selain CU Muare Pesisir, terdapat 47 CU lain berada di bawah Badan Koordinasi Koperasi Kredit (BK3D) Kalimantan yang dewasa ini menjadi lembaga ekonomi berbasis kerakyatan dan mendapatkan kepercayaan dari sekitar 334.119 anggota.

Pengertian CU

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Credit Union? Yakni koperasi kredit, berasal dari kata "credere" yang berarti percaya dan "union" yang berarti perkumpulan.

Karena itu, credit union adalah badan usaha yang dimiliki oleh sekumpulan orang dalam suatu ikatan pemersatu yang bersepakat menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama guna dipinjamkan kepada sesama anggota dengan bunga yang layak dan untuk tujuan produktif dan kesejahteraan.

Menurut sejarahnya, credit union lahir pertama kali pada pertengahan abad 19 di Jerman. Lembaga ini digagas seorang walikota Flammersersfield, Jerman Barat, bernama Friedrich Wilhem Raiffeisien. Itu dilatarbelakangi keprihatinannya terhadap kondisi sosial ekonomi yang suram yang dihadapi oleh warganya.

Ketua BK3D Kalimantan Anselmus Robertus Mecer, mengatakan, sering kali orang memberikan nama secara "hitam putih". Padahal walaupun ada kesamaan, namun ibarat orang membuat kue dengan bahan yang sama, akan tetapi memiliki racikan yang berbeda.

"Karena itu, seringkali orang menyebut koperasi kita ini, sebagai koperasi simpan pinjam. Padahal salah dan itulah yang fatal. Karena kata-kata itu menggambarkan pemikiran. Jika dengan konsep simpan pinjam maka dapat dipastikan tidak akan berjalan. Sudah banyak kasus seperti itu terjadi. Maka dari itu, koperasi yang dijalankan oleh kita diberi nama credit union," katanya.

Ia mengatakan, kata "credit" berasal dari "credere" atau Kepercayaan. Dalam koperasi itu, menekankan kepada kumpulan orang. Orang berkumpul bersama harus saling percaya. Jika tidak, maka tidak akan bisa bekerjasama. Kalau bersama-sama bekerja tetapi saling menghujat, dapat dipastikan pekerjaan itu tidak membawa hasil.

Maka bekerja dalam kumpulan orang tetapi tidak sembarangan. Melainkan orang yang saling percaya. Harus ada keterbukaan dalam segala macam persoalan dan mereka yang menjadi anggota harus sudah mengikuti pendidikan untuk memahami kebersamaan itu.

Pendidikan yang diberikan di credit union, menurut AR Mecer tidak seperti pendidikan di sekolah, hubungan antara guru dengan murid, dan murid dianggap kosong (tidak tahu). "Pendidikan yang diberikan di credit union, merupakan pendidikan orang dewasa," kata pendiri Credit Union Pancur Kasih pada tahun 1987 itu.

Menurut ia, kemunculan lembaga tersebut di Indonesia bermula pada sekitar tahun 1960-an. Credit union mulai dikembangkan oleh seorang pastor Katolik dari Jerman yang datang ke Indonesia. Sementara pengembangan ke Kalbar berlangsung tahun 1975, melalui pelatihan yang diikuti 40 kelompok.

Namun dalam perkembangannya, credit union tersebut "menghilang". Pada sekitar tahun 1985, diadakan sosialisasi ulang yang diikuti oleh sejumlah anggota lembaga swadaya masyarakat, salah satunya dari Pancur Kasih. Gagasan pendirian credit union kembali muncul sehingga terbentuklah CU Khatulistiwa Bhakti pada 12 Mei 1985 disusul CU Pancur Kasih pada 28 Mei 1987.

Seiring dengan perjalanan waktu, CU-CU terus bermunculan hingga Desember tahun 2006, sehingga CU yang dinaungi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Kalimantan kini telah beranggota 48 credit union primer.

Produk CU

Ada banyak bentuk produk simpanan dan pinjaman yang disiapkan CU untuk mengundang simpati, sehingga jumlah anggotanya terus bertambah. Misalnya, produk yang disiapkan oleh CU Muare Pesisir, meliputi Simpanan Saham, yakni simpanan masa depan dengan balas jasa simpanan 15 persen per tahun tanpa potongan pajak dan administrasi.

Menurut Sapiah, 27, pengurus CU Muara Pesisir Tempat Pelayanan Sungai Itik, Simpanan saham bisa dijadikan dasar anggota untuk melakukan pinjaman.

Selain itu anggota juga dilindungi oleh "Jalinan" pada usia produktif dengan umur maksimal 70 tahun, yaitu santunan solidaritas (Tunas) sebesar 100 persen dari saldo simpanan, dengan plafon kurang dari Rp25 juta.

Di CU itu, ada pula simpanan perlindungan piutang (Lintang) berupa penghapusan pinjaman dengan plafon kurang dari Rp75 juta, apabila anggota yang bersangkutan meninggal dunia atau mengalami cacat tubuh total.

Produk lainnya adalah "Sampan" (simpanan harian), yakni simpanan anggota harian (simpanan non saham) yang dapat disetor dan ditarik setiap hari kerja, dengan imbalan 6 persen per tahun, tanpa potongan pajak dan administrasi.

Berikutnya, "Tahar" (tabungan hari raya), merupakan tabungan yang diperuntukkan bagi anggota CU yang disetor minimal Rp25 ribu per bulan, dan hanya dapat ditarik pada tanggal jatuh tempo 1 bulan sebelum hari raya, dengan balas jasa simpanan 10 persen per tahun.

Sementara itu, pinjaman yang diberikan kepada anggotanya pun bervariasi, mulai dari pinjaman usaha produktif dengan plafon Rp75 juta, pinjaman konsumtif Rp75 juta, pinjaman pendidikan Rp5 juta, pinjaman darurat Rp10 juta dan pinjaman kapitalisasi Rp25 juta. Namun realiasinya disesuaikan dengan saldo tabungan anggota yang bersangkutan.

Khusus untuk pinjaman kapitalisasi (pinjaman untuk ditabung kembali), menurut Sapiah, besarnya tidak berdasarkan saldo simpanan dan dengan bunga angsuran 1,75 persen menurun.

Sementara CU Pancur Kasih yang kini telah beraset Rp396 miliar lebih, menurut Ketua Dewan Pengurusnya, Norberta Yati Lantok, memiliki produk simpanan dan pinjaman yang meliputi simpaman saham, terdiri dari Simpanan Pokok (SP) dan Simpanan Wajib (SW), Simpanan Balas Jasa Harian: Simpanan Saale'atn (SS), Pangari, Titipan Hari Raya, dan Simpanan Berjangka yang terdiri dari Simpanan Sukarela Berjangka (Sisuka) dan Sejahtera Hari Tua (Sehat).

Untuk bentuk pinjaman, meliputi Pinjaman Produktif, Pinjaman Konsumtif dan Pinjaman Darurat. Sama halnya dengan CU Muare Pesisir, balas jasa pinjaman yang berlaku umum di CU itu 2 persen menurun atau 1,5 persen tetap.

Selain itu, CU dengan jumlah anggota terbanyak dari CU lain yang mencapai 60. 786 orang itu, memberikan jasa lain, berupa solidaritas kesehatan (Solkes), Santunan Rawat Inap (Sri) dan Panamutn Bahata Subayatn (PanaBas) yakni santunan duka bagi anggota yang meninggal.

Ketika masyarakat membutuhkan dana segar namun tidak bisa dengan mudah mendapat tanpa memberikan jaminan atau agunan seperti sertifikat tanah, rumah, atau bentuk lainnya, kehadiran credit union menjadi pilihan yang membantu mengatasi permasalahan tersebut.

Begitu pula yang dirasakan Taksiah yang telah menerima manfaat dari kehadiran koperasi kredit di tempat tinggalnya sejak 2003 tersebut. Saat ini, perempuan dengan anak tiga itu sudah menikmati hasil dari rutinitas menabung melalui credit union dan juga telah mendapatkan bantuan kredit sebanyak 3 kali.

"Orang seperti kami ini, mendapat kemudahan dengan urusan peminjaman uang untuk keperluan usaha," kata Taksiah yang memiliki lahan padi seluas 1,5 hektare hasil dari meminjam melalui CU Muare Pesisir. Ia menyatakan setelah tua dapat menerima manfaat besar itulah yang diharapkan para anggota credit union.

Pada awal berdirinya, credit union lahir dalam upaya membantu mereka yang tidak beruntung mendapat kredit melalui perbankan atau lembaga keuangan lain. Namun saat ini anggotanya datang dari berbagai golongan dengan tujuan yang sama yakni membangun ekonomi menuju kesejahteraan di usia tua.

"Muda menabung tua beruntung", bukan hanya slogan bagi credit union, kata Taksiah menutup pembicaraannya.