Sabtu, 20 Oktober 2007

PONTIANAK MASIH BERSUASANA LEBARAN


Pontianak, 20/10 (ANTARA) - Kegiatan bersilaturahmi ke tetangga dan keluarga berkaitan dengan Idulfitri 1428 Hijriyah di Kota Pontianak, Sabtu, masih terus berlangsung dan diperkirakan belum berakhir hingga berakhirnya bulan Syawal.

Suasana permukiman warga di kota berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa tersebut, masih diliputi suasana lebaran. Sejumlah warga masih saling berkunjung ke tempat keluarga, teman atau sahabat dan tetangga, meski pada hari ini sudah memasuki hari keenam setelah Idulfitri 13 Oktober lalu.

Pajangan kue penyambut tamu di rumah pun masih tampak di setiap kediaman warga. Kue-kue kering khas lebaran seperti kue putri salju, keju, tar nenas, dll masih tersimpan di dalam toples tempat penyaji hidangan tersebut. Begitu pun dengan kue basah khas Kalimantan Barat, semisal, lapis legit, lapis belacan, lapis telur, dll.

Warga Pontianak hingga kini masih diliputi suasana lebaran. Kondisi ini sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia, apalagi di kota besar seperti Jakarta.

Seorang ustad, H Hadari H Majri, membenarkan budaya berlebaran di masyarakat kota Pontianak yang berlangsung hingga sebulan penuh.

"Belum habis bulan Syawal, belum lah selesai lebaran di Pontianak," katanya.

Ia mengatakan, kondisi itu berbeda dengan warga yang bermukim di tempat lain, misalnya, di Kabupaten Sambas. Setelah tiga hari lebaran, suasana setempat akan kembali normal seperti hari biasa. Aktifitas warga seperti bertani menanam padi dan merawat kebun jeruk, mencari ikan atau sebagai nelayan, telah dimulai kembali.

"Orang Pontianak paling lama melepas lebaran. Mereka saling membalas setiap kunjungan tamunya. Sehingga memerlukan waktu yang lebih lama," kata mantan anggota DPRD Kalbar itu.

Menurut seorang warga, Andreas Acui Simanjaya, kesempatan libur bersama manfaatkan banyak orang untuk mendekatkan diri kepada keluarganya, yang mungkin selama ini karena rutinitas dan kesibukan kerja menyebabkan komunikasi antara anggota keluarga menjadi tidak efektif. "Adanya liburan ini kesempatan untuk berdarmawisata bersama ataupun saling mengunjungi menjadi lebih terbuka peluangnya, hubungan kekerabatan dan persaudaraan menjadi lebih meningkat," kata Sekretaris Majelis Adat Budaya Tionghoa Kalbar itu.

Sementara dari pengamatan, sejumlah tempat usaha juga ada yang masih belum membuka usaha.

Tempat usaha itu, seperti toko peralatan ATK (alat tulis kantor) dan pelayanan fotocopy di Jalan Sutan Syahrir, warung makan milik warga semisal, "Warung Jawa Timur" yang menyediakan menu nasi rawon, di Jalan Ahmad Dahlan, Warung lontong sayur di Jalan Johar, dan pedagang kaki lima, baik penjual makanan maupun pakaian di Jalan Nusa Indah, komplek pertokoan Sudirman.
Suasana perkantoran tidak berbeda jauh. Tak ada tanda-tanda aktifitas kerja di komplek perkantoran. Diperkirakan suasana ramai di kantor pemerintahan baru akan tampak pada Senin, 22 Oktober.

Namun yang agak lain terlihat di kantor Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalbar. Sejumlah anggota KPU dan staf sekretariat telah bekerja pada H+2 lebaran. Rutinitas kerja telah berlangsung sejak Selasa. Ini berkaitan persiapan KPU Provinsi Kalbar yang menjadi penyelenggara pemilihan umum kepala daerah Kalbar pada 15 November mendatang.

Sabtu, 29 September 2007

Dokter : Peluru Tembus Jantung Nagai

YANGON, MYANMAR, 28/9 - TERTEMBAK. Wartawan APF Kenji Nagai terbaring di jalan setelah terkena peluru yang ditembakkan polisi dan anggota militer pada pengunjuk rasa di Yangon, Myanmar, Kamis (27/9). Nagai (52), seorang fotografer Jepang, tertembak saat tentara menggunakan senjatanya untuk membubarkan massa. Nagai kemudian tewas. FOTO ANTARA-REUTERS/stringer/ox/07.


Batam (ANTARA News) - Jantung Kenji Nagai ditembus anak peluru dari arah bawah dada kanan dan keluar lewat punggung, kata dokter Kedubes Jepang seperti dikutip jubir Pemerintah Jepang Nobutaka Machimura, Jumat.


Nagai, Kamis, tewas diterjang anak peluru yang ditembakkan militer Myanmar dari jarak dekat di Yangon. Nagai, 50, adalah wartawan televisi untuk Asian Press Front yang berbasis di Tokyo

Ia menjadi wartawan media asing pertama yang tewas di medan peliputan sembilan hari aksi para biksu dan kelompok prodemokrasi Myanmar menghadapi junta militer yang berkuasa di negara itu.

AFP yang dikutip Chanel News Asia memberitakan, Pemerintah Jepang akan melancarkan protes dan menyelidik apakah Nagai dibunuh secara sengaja.

Sementara itu Televisi Fuji mengatakan Nagai dibunuh secara sengaja, bukan akibat peluru nyasar.

Nagai, 50, adalah wartawan televisi untuk Asian Press Front yang berbasis di Tokyo dan telah berpengalaman meliput di beberapa daerah panas dan berbahaya.(*)

Kamis, 20 September 2007

DERITA PEREMPUAN KORBAN KONFLIK SANGGAU LEDO

Oleh Nurul Hayat

"Hidup ini susah. Bagaimana nanti ya... kalau di akhirat, apakah juga makin susah," kata Sukadimah, perempuan paruh baya, korban kerusuhan sosial 1996-1997 di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.

Sukadimah, tidak mengetahui usianya telah "berkepala" berapa. Namun dari gurat keriput di wajahnya, perempuan itu terlihat seperti "memegang" beban berat.

"Orang Madura dek.., mana pernah peduli dengan usia sudah berapa," katanya, seolah mengingatkan hidup seseorang bukan berdasarkan usianya.

"Allah...Allah... susahnya hidup. Ini mau puasa, tapi tidak ada uang," katanya dengan tangan mengusap kedua pipinya sambil duduk di tangga teras depan kantor Gubernur Kalbar Jalan Ahmad Yani, Pontianak.

Perempuan beranak lima itu, hanyalah salah satu dari ratusan warga yang mengikuti unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin (10/9).

Selain Sukadimah masih ada Misura, yang mengaku berusia 40-an tahun. Misura memiliki tujuh anak, dua di antaranya sudah berumah tangga. Sehari-hari hidupnya bekerja sebagai pemecah batu.

"Sejak tinggal di Peniraman (Kabupaten Pontianak) 10 tahun ini, saya jadi tukang batu," kata perempuan bertubuh kecil dan berkerudung itu.

Menurutnya, kebanyakan perempuan korban kerusuhan Sanggau Ledo, harus kerja keras banting tulang membantu suami, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia memilih menjadi tukang batu atau penetak batu, karena di tempat tinggalnya --pinggir jalan lintas Pontianak-- memang terkenal sebagai penghasil batu untuk bahan bangunan dan pembuatan jalan.

"Kerja batu berat. Kalau puasa sanggup kerja, saya kerja. Tapi kalau tak kuat, ya libur saja. Itu artinya tidak ada penghasilan," katanya.

Dalam empat hari kerja, Misura dan suami bisa mengumpulkan pecahan batu untuk mengisi satu truk. Batu-batu itu dijual kepada penampung warga setempat Rp50.000 per truk.

"Itu tak cukup untuk makan. Syukurnya anak-anak juga membantu mengumpulkan batu-batu," kata wanita yang pernah menetap di Salatiga, Kabupaten Bengkayang itu.

Saat masih di Salatiga, Misura dan suami menjadi penoreh karet milik tuan tanah setempat. Hasilnya memang tidak besar. Dalam satu hari bisa dapat lima kilogram karet yang upahnya dibayarkan Rp500 per kg.

"Itu penghasilan 10 tahun lalu. Tetapi cukup untuk hidup kami sekeluarga," katanya. Namun sejak mengungsi ke Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, dia mesti menjadi penetak batu. "Diam (tinggal) di Peniraman tidak dapat apa-apa," katanya.

Sementara Rosita (25), perempuan lainnya, memilih hanya mengurus rumah dan mengasuh dua anak yang masih berusia 4 dan 2,5 tahun.

"Saya tidak bekerja. Suami saja yang kadang-kadang jadi penebang kayu atau tukang batu," kata perempuan kelahiran Terohok, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu.

Rosita, 10 tahun lalu masih remaja. Ikut mengungsi ke daerah Motong Tinggi, Kecamatan Anjungan, Kabupaten Pontianak, bersama keluarga besarnya.

Ia bertemu jodoh teman sekampung asal Terohok, Mandor. Sambil menahan sakit di perut, perempuan itu menyatakan rata-rata para ibu yang ikut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, sehari-harinya bekerja, sebagai tukang batu.

Begitu kerasnya hidup yang mesti dijalani para perempuan korban kerusuhan itu. Sehingga harus merelakan tangan dan kaki menjadi kasar dan "kapalan", karena harus "menaklukan" batu-batu di perbukitan. Tentu saja, mereka juga harus siap mati terkena longsoran reruntuhan tanah dan batu dari bukit yang rusak.

Mana perhatiannya?

Warga dari pengungsian Motong Tinggi mendatangi DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar untuk meminta ganti rugi aset-aset mereka yang telah ditinggalkan dan mengharapkan perlindungan hukum.

Selain itu juga meminta disediakannya pemukiman yang layak beserta fasilitasnya, menuntut jatah hidup selama 10 tahun yang belum diberikan, dan menuntut penanganan lebih serius Pemprov Kalbar agar permasalahan tersebut secepatnya bisa diselesaikan.

Koordinator Forum Peduli Pengungsi Pasca Konflik Sosial, Junaidi (39) mengatakan, "Kami sudah 10 tahun menunggu, tapi hingga kini belum ada realisasi dari Pemprov Kalbar."

Sebagai warga negara Indonesia, menurutnya, semua memiliki hak yang sama. Namun yang terjadi selama 10 tahun, mereka harus menderita di barak pengungsian Motong Tinggi tanpa ada kejelasan. Para pengunjuk rasa itu kecewa, mereka seperti diperlakukan sebagai "anak tiri".

Mereka mengharapkan bantuan yang sama yang pernah diberikan kepada para pengungsi korban kerusuhan Sambas, 1999 lalu. "Kami tak dapat rumah. Tak dapat uang atau pun bantuan makanan. Mengapa kami tidak bisa mendapatkannya," kata seorang perempuan kurus dengan bayi dalam gendongan.

Warga yang berunjuk rasa itu, menyatakan diperlakukan tidak adil. Karena pengungsi korban kerusuhan Sambas, sudah mengikuti relokasi -- mendapatkan rumah, tanah dan jatah hidup -- di sejumlah kawasan dalam wilayah Kabupaten Pontianak.

Aksi kali ini, untuk ketigakalinya mereka lakukan. Pada Juni lalu, Asisten I Sekretaris Daerah Kalbar, Ignatius Lyong menyatakan Pemprov akan segera menyelesaikan permasalahan para korban konflik bernuansa SARA 1996-1997 itu.

Mereka ingin bertemu Gubernur Usman Ja'far dan Sekretaris Daerah Syakirman, untuk menanyakan secara langsung nasib mereka selanjutnya. Namun kedua orang tersebut sedang tidak berada di tempat.

"Gubernur kabarnya sudah membentuk tim penanganan pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo. Tetapi mana buktinya?" kata Junaidi saat berorasi di teras depan kantor Gubernur Kalbar.

Sekretaris Tim Penanganan Pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo, Totot WD saat berdialog dengan perwakilan warga tersebut, mengakui tim sudah dibentuk oleh Gubernur Kalbar dengan No. 482 tahun 2007 sejak Juni lalu. Tetapi itu baru sekedar pembentukan tim kerja yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah termasuk unsur Polda Kalbar.

"Hingga kini dana untuk pemberian Jadup dan lain sebagainya masih belum ada, sehingga kami masih belum bisa bekerja. Saya minta para korban kerusuhan bisa bersabar," katanya.

Akibat kerusuhan dua etnis pada 1996-1997, sekitar 1.770 kepala keluarga atau sekitar 9.000 warga yang terpaksa mengungsi di dua barak yaitu barak Galang dan Motong Tinggi, yang terletak di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Dalam aksi unjuk rasa ke DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, selain para laki-laki dan perempuan dewasa, juga tampak anak-anak berusia di bawah 10 tahun. "Anak-anak kami ikut ke sini, karena mereka tidak bersekolah," kata Misura.

KEBANGGAAN PEMBUAT SAMPAN LOMBA


Oleh Nurul Hayat

“Ban-ban go, ban-ban go, ayo dayung menuju finish,” begitulah teriakan nyaring yang terdengar saat perahu berwarna merah muda meluncur di sungai Landak, Kabupaten Landak. Di atas perahu atau sampan, duduk 8 orang yang terdiri dari 2 manajer dan 6 pendayung yang berusaha keras mencapai finish guna meraih kemenangan, dalam lomba sampan perayaan Festival Budaya Melayu Landak.

Keringat membasahi kaos dalam putih yang dikenakan para pedayung dari Serimbu, Kecamatan Air Besar, yang untuk pertama kalinya ikut meramaikan pesta budaya masyarakat Melayu di kabupaten 178 km dari utara Kota Pontianak itu.

Tepuk tangan, sorak sorai mewarnai lomba sampan yang diikuti 26 regu dari seluruh kota kecamatan di Landak. Satu demi satu, regu dayung tersisih ke belakang, terkalahkan oleh tim yang lebih kuat.


Namun tim dari Serimbu, bertahan pada posisi pertama, dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek sederhana, mereka tetap bersemangat berusaha berada di tempat terdepan.
Di antara sorak sorai para pendukung tim dayung itu, terukir senyuman seorang laki-laki berkulit coklat gelap. Laki-laki itu bernama Herman Suhandri, berusia 28 tahun dan dikenal sebagai pembuat sampan.

Putra Melayu desa Serimbu, Kecamatan Air Besar itu tampak tersenyum ceria tatkala menyadari tim desanya berada di urut depan peserta lomba, yang artinya mengalahkan tim dari kecamatan lain.
Ketika ditemui, pria berbadan kurus itu masih mengukir senyum, menandakan kebanggaan dan keberhasilan sebagai pembuat sampan lomba.

“Saya membuat sampan itu selama seminggu. Senang ketika melihat teman-teman membawanya menuju ke finish,” kata pria itu.


Herman baru sekitar 2 tahun ini membuat sampan. Setelah menyaksikan ayahnya, Abdul Liman, 52, menghidupi keluarga selama belasan tahun dari usaha membuat “kendaraan” terapung tanpa mesin itu.


Karena ketertarikan dengan pekerjaan orang tuanya, mendorong Herman untuk belajar membuat sampan. Setelah dua tahun berguru pada sang ayah, jadilah dua sampan untuk perlombaan mendayung yang digunakan tim dari desanya mengikuti lomba dalam Festival Budaya Melayu Landak.
Tanpa sungkan, Herman memuji hasil karyanya itu.

“Selain teman-teman, peserta lomba dari kecamatan lain juga sudah mencoba sampan bikinan saya. Mereka juga menyatakan bagus dan enak dipakai,” katanya.
Kayu medang
Perahu buatan Herman, berasal dari kayu hutan. Bukan sembarang kayu yang dapat digunakan. Tetapi kayu itu, bernama Medang. Kayu itu ia peroleh dengan membeli dari masyarakat penebang hutan. Kayu yang dipilih, tentu saja kayu yang berasal dari batang tua berumur belasan atau bahkan puluhan tahun.


Kayu itu, biasanya berdiameter 50 cm atau lebih. Keunggulan kayu Medang atau batang Medang Ijuk di banding jenis kayu hutan lainnya, karena tahan lama atau awet, ringan, bagus dan kuat.
Kayu baru dapat digunakan setelah seminggu diambil dari hutan, selama waktu itu, kayu juga mesti dikeringkan sekitar tiga hari. Karena kayu harus benar-benar mati dengan kadar air yang sedikit. Ada juga jenis kayu Leban, namun sampan yang dihasilkan dari bahan kayu ini tidak sebagus sampan dari bahan kayu Medang.

Untuk membuat sampan, yang mesti dilakukan pertama kali adalah membuat bentuk atau model sampan tersebut. Jika modelnya bagus, maka sampan yang dihasilkan pun akan bagus.
Agar sampan itu menjadi bagus, papan sambungan bingkai dan badan dipaku dengan paku dan bagian kepalanya dimasukan ke dalam papan dan dipantak. Badan perahu setengah jadi itu dibentuk dengan bantuan tali. Sehingga ketika dibuka, menghasilkan bentuk yang diinginkan, yakni bentuk bergelombang.

Dalam pembuatan sampan, bagian yang tersulit adalah saat membuat tajuk atau tulang rusuk. Perlu ketekunan untuk mengerjakan bagian tersulit dari proses pembuatan perahu itu.
Tingkat kesulitan tertinggi yang ia alami, adalah ketika menyiapkan tajuk atau tulang rusuk sampan tersebut. Karena perakit sampan harus terampil menyusun sambungan kayu untuk tajuk. Setelah itu, kemampuan pembuatan sampan masih diuji lagi saat menyambung antara rusuk dengan bingkai. Bagian itu mesti dibuat kreasi yang indah dan bagus.

Setelah menyambung satu kayu dengan kayu lainnya, dan dipaku dengan cukup kuat. Setiap bagian sambungan papan mesti diberi lem. Bahan perekat ini pun tidak bisa sembarangan. Herman mesti menggunakan perekat dari bahan damar yang juga diperoleh dari alam.


Lem dari bahan damar itu disebut keruing. Cara pembuatannya, damar terlebih dahulu mesti ditumbuk, dihaluskan menjadi seperti tepung yang menghasilkan getah. Getah itu dicampur minyak solar dan air panas, dijemur di bawah panas matahari.
“Setelah itu baru lem dapat digunakan,” jelasnya.

Setelah sampan jadi, maka dilakukan ujicoba atau tes apakah bocor atau tidak. Untuk mengetahui kemungkinan bocor, sampan dibawa ke sungai di desa tersebut. Baru jika tidak ada genangan air di dalam perahu, maka selesailah pembuatan sampan untuk lomba itu.


Perahu dapat bertahan dua tahun sampai dengan tiga tahun. Perahu bikinan Herman, yang memiliki panjang 8 meter lebar 90 centimeter dan ketinggian dari tanah skeitar 70 centimeter, dijual dengan harga Rp3 juta.
Ritual jelang lomba

Bagi masyarakat Serimbu, tradisi menggunakan sampan sudah berlangsung sejak lama dan “menular” dari satu generasi ke generasi lain. Di desa perhuluan sungai Landak itu, masyarakat Melayu-nya terbiasa hidup dengan air sungai. Hampir semua aktivitas hidup sehari-hari yang terkait dengan air, berlangsung di sungai kampung tersebut.


Jalan sungai menuju ke permukiman penduduk setempat pun mesti melewati rentetan jeram yang sambung menyambung. Jika air sungai Landak surut, dapat disaksikan rangkaian jeram atau riam berjeret seperti hendak “menelan” mereka yang mencoba menantang alam.


Seorang pemuda setempat, Mustari, 41, menyatakan, selain melewati rangkaian riam di sungai Landak, untuk dapat sampai ke kampung penghasil intan itu, melalui jalan darat yang saat ini dalam kondisi rusak berat.


“Jalan berlubang-lubang. Jika hujan, timbul genangan di banyak tempat di jalan Ngabang-Serimbu,” kata Wakil Ketua Kontingen Kecamatan Air Besar itu.
Jarak dari Ngabang menuju Serimbu yang sejauh 178 km, mesti ditempuh melalui perjalanan darat selama 4-5 jam.
Lamanya waktu tempuh itu karena kondisi jalan yang rusak parah. Sehingga mobil angkutan umum, jenis “pick up” harus menerjang genangan air lumpur yang memenuhi ruas jalan menuju ke desa tersebut.


Meski begitu, tidak membuat semangat tim lomba sampan Serimbu “patah arang”.
Namun justru membuat sebanyak 20 orang pedayung setempat berjuang melawan tantangan awal sebelum tantangan dalam perlombaan berlangsung.

Baik Mustari maupun Herman mengatakan, untuk persiapan lomba, warga kampungnya menyiapkan ritual khusus agar tim lomba dari desa itu memiliki semangat juang dan terhindar dari “balak” (musibah).


Penduduk kampung, menurut Herman, menyiapkan acara pengungkupan atau pembacaan doa selamat. Sebagai syarat untuk ritual itu, maka diperlukan seekor ayam dan nasi kuning yang kemudian dibacakan doa selamat oleh tetua (orang yang dianggap tua) setempat.
Namun ritual itu, ternyata tidak diterapkan saat pembuatan sampan. “Tidak ada doa khusus saat membuat sampan. Hanya doa biasa yang dilakukan ayah saya,” imbuhnya.

Perbedaan antara sampan lomba dengan sampan biasa, adalah dari bentuk dan ukuran. Sampan biasa, memiliki panjang 6 meter dan memiliki lebar lebih besar dari sampan lomba, yakni mencapai 1 meter.


Sedangkan sampan untuk lomba, biasanya memiliki panjang standar 8 meter atau 12 meter dengan lebar 90 centimeter.
Khusus sampan buatan Herman, memiliki panjang 8 meter. Dengan dayung sepanjang 1,60 meter dan lebar 80 centimeter. Ukuran itu merupakan ukuran ideal karena sampan menjadi mudah untuk difungsikan daripada sampan dengan panjang 12 meter. Sampan dengan panjang 12 meter, sulit dikemudikan. Kalau pendek, mudah didayung, laju, dan terasa enak menaikinya.

Kebanggaan terhadap sampan buatannya, tidak terlepas dari pujian yang disampaikan teman-temannya bahkan tim dari kecamatan lain. “Sampan saya sudah dicoba oleh tim kecamatan lain. Mereka memuji karena sampan tidak gampang ‘oleng’ saat ada gelombang,” katanya.
Herman tidak memiliki cita-cita muluk, tetapi sebagai pembuat sampan, ia merasa bangga dapat membaktikan diri bagi kampung halaman tercinta.

“Bangga, sangat bangga ketika melihat sampan buatan saya ikut dalam lomba dan berhasil tiba di finish mendahului peserta lain,” kata pria berkulit legam itu.


foto by: Muhlis Suhaeri

PEMKOT PONTIANAK PERTAHANKAN JEMBATAN KAYU SUNGAI KAPUAS


Pontianak, 3/9 (ANTARA) - Pemerintah Kota Pontianak akan tetap mempertahankan keberadaan jembatan kayu di pinggir sungai Kapuas yang sambung-menyambung antara satu kampung dengan lainnya, yang menjadi jembatan kayu terpanjang di dunia sebagai ciri khas kota tersebut.

"Ada satu ciri khas Kota Pontianak yang mesti dipertahankan, jembatan kayu yang sudah ada sejak dahulu. Ada keinginan warga agar jembatan yang menyisir pinggir sungai Kapuas itu dibangun dari beton. Tetapi kami menginginkan agar ciri khas kayunya tetap dipertahankan," kata Wakil Walikota Pontianak Sutarmidji, saat menjadi pembicara dalam diskusi publik "Kebijakan Pembangunan di Kota Pontianak", Senin.


Jika masyarakat menghendaki pembangunan kembali jembatan itu, ia mengatakan hendaknya ciri khas kayu tetap dipertahankan dan bukan dibangun ulang dari bahan semen atau beton. "Jika untuk tiang mungkin bisa dari bahan beton. Tetapi untuk lantai, tetap dari kayu," jelasnya.


Menurutnya, dalam membangun jembatan, tidak mesti mengikuti keinginan masyarakat yang menyatakan telah bosan dengan jembatan kayu dan menginginkan jembatan beton. Keberadaan jembatan kayu tersebut, menjadi objek atau daya tarik tersendiri bagi kota.


Selain tetap mempertahankan jembatan di sepanjang sungai Kapuas, Wakil Walikota itu juga menyatakan Pemkot Pontianak akan tetap mempertahankan beberapa bangun tua yang masih ada sampai saat ini. Bangunan itu di antaranya kantor Pos (lama) Jl Rahadi Osman yang dibangun masa penjajahan Belanda.

Kemudian bangunan Sekolah Dasar Negeri 14, Jl Tamar yang juga berusia ratusan tahun. Sekolah dasar bergaya Melayu tersebut akan direnovasi namun tetap mempertahankan bentuk bangunan aslinya.


Meski menjadikan Pontianak sebagai kota jasa dan perdagangan, menurut Sutarmidji, pemerintah merencanakan kondisi di Parit Besar dari Jl Tanjungpura - Jl Barito yang merupakan pusat pertokoan tua dapat tetap dipertahankan. "Lokasi itu akan menjadi 'kota tua' dan akan tetap dipertahankan. Kita tidak bisa mengubah kota dalam waktu sekejap," katanya.
Sementara itu, Penulis dan Budayawan, A Halim Ramli menyatakan, Kota Pontianak juga mesti membangun seni publik guna menampilkan "wajah indah" kota tersebut.

Adapun bentuk bangunan baru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri I, di Jl Jenderal Urip Sumohardjo Pontianak yang bergaya kuno dan kini menjadi modern, menurutnya hal itu tidak menjadi masalah. "Bangunan tua SLTPN I memang tidak layak dipertahankan. Ketradisionalannya tidak perlu dipertahankan," katanya. Bentuk bangunan yang ada saat ini sangat menarik dan indah, bahkan seperti sebuah bangunan hotel.


Sedangkan mengenai bangunan penjara, menurut Halim Ramli, sudah saatnya tidak dibangun dengan bentuk yang menunjukkan simbol penjara yang selalu digambarkan menakutkan. "Alangkah baik kalau penjara juga dibangun tidak seperti penjara," kata Halim Ramli yang juga menciptakan maskot Burung Enggang untuk Kalimantan Barat itu.


Diskusi Publik tersebut digelar berkaitan pameran tunggal fotografer Lukas B Wijanarko yang didukung oleh media partner seperti Radio Sonora, LKBN ANTARA, Harian Borneo Tribune, dan Ruai TV. Pameran berlangsung pada 3 September - 4 Oktober, dibuka oleh Anggota DPR RI Akil Mochtar di hotel Gajah Mada Pontianak.