Oleh : Nurul Hayat
Pontianak, 22/7 (ANTARA) - Bencana kabut asap yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Kalimantan Barat pada 10 tahun lalu, telah mengakibatkan kerugian materi yang tidak sedikit, dan membuat jalur transportasi udara terganggu. Setelah kemarau 1997 itu, persiapan apa yang telah dilakukan untuk menghadapi fenomena siklus 10 tahunan ini?
Sejak kejadian pada 1997, bencana kabut asap terus berulang setiap tahunnya. Sehingga pada 2007 itu telah memasuki tahun ke-10.
Kekhawatiran pun muncul, akankah kejadian yang mirip 1997 berulang kembali? Meskipun pada 1997, terdapat pengaruh El Nino, gejala iklim periodik yang menyebabkan musim kemarau sangat panjang.
Untuk menghindari "hilangnya" langit biru dari bumi khatulistiwa, apa saja yang sudah dilakukan Kalbar menghadapi fenomena alam yang lebih banyak karena campur tangan manusia tersebut?
Pemerintah Provinsi Kalbar, menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Tri Budiarto, telah melakukan sejumlah upaya. Dari upaya yang dilakukan itu diharapkan dapat mengatasi dan mengurangi jumlah titik panas (hotspot) dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menjadi penyumbang utama munculnya kabut asap.
Ia mengatakan, Pemerintah Pusat --sama halnya dengan Kalimantan Barat-- mengharapkan agar tahun ini terjadi penurunan jumlah hotspot sebesar 50 persen dari sebanyak 25.910 titik panas pada 2005. Pemprov Kalbar melalui instansi teknis semisal Bapedalda, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan, berupaya meminimalisir titik panas tersebut.
Upaya yang dilakukan di antaranya dengan mengumpulkan pengusaha perkebunan dan kehutanan yang berizin operasi di wilayah Kalbar, serta jajaran pemerintah kabupaten/kota, untuk meminta komitmen para pihak tersebut agar benar-benar serius mengatasi persoalan kabut asap.
Ia mengatakan, Pemprov Kalbar mengharapkan perusahaan perkebunan dan pemegang izin HPH (hak pengusahaan hutan) agar segera memunculkan inisiatif dalam menanggulangi kabut asap. Mereka juga hendaknya dapat meningkatkan aktifitas pembangunan masyarakat, terutama yang bermukim dekat dengan wilayah mereka.
Bencana kabut asap yang terjadi pada 1997, hendaknya tidak kembali berulang di tahun ini. Karena dampak yang ditimbulkan dari bencana telah menyebabkan kerugian materi yang tidak sedikit. Termasuk protes dari pemerintah negara tetangga dan terganggunya transportasi udara.
Apalagi mengingat pada tahun ini juga terjadi perubahan iklim, dimana musim kemarau yang sedianya sudah berlangsung sejak Juni namun mundur dan diperkirakan baru terjadi pada awal Agustus. Karena itu, upaya penanggulangan terhadap bahaya kabut asap mesti harus tetap berjalan.
Selain dengan bertemu pada pengusaha bidang perkebunan dan kehutanan, belum lama ini Pemprov Kalbar telah mengaktifkan kembali keberadaan "Kelompok Peduli Api" di sejumlah kecamatan di Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak.
Kader atau Kelompok Peduli Api sangat berperan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, terutama memberikan penyadaran kepada masyarakat dan membantu tim pemadam api, Manggala Agni yang selalu siap di saat kemarau tiba.
Kelompok Peduli Api, sampai saat ini baru di sembilan kecamatan rawan kebakaran hutan dan lahan. Adapun sembilan kecamatan itu meliputi Sungai Raya, Sungai Kakap, Sungai Ambawang, Rasau Jaya, Terantang, Kubu, Pontianak Utara, Pontianak Selatan dan Pontianak Kota.
Namun di sisi lain, Tri Budiarto mengakui masyarakat yang tergabung dalam kelompok itu juga bertanya kepada Pemerintah.
Solusi apa yang bisa diberikan kepada mereka agar tidak lagi menggunakan pola pertanian bakar? Karena selama ini solusi yang diberikan baru secara mikro dan bukan makro. Dalam pengertian dapat menyelesaikan permasalahan pertanian mereka.
Kebakaran Hutan
Kabut asap yang selalu muncul di Kalimantan Barat, erat kaitan dengan adanya aktifitas "land clearing" atau pembersihan lahan dan hutan dengan cara membakar.
Selain itu, kegiatan pembakaran di lahan bergambut untuk usaha pertanian, selain karena faktor alam --terbakar karena panas matahari-- yang memang kecil kemungkinannya..
Sejak lama diketahui, pembersihan lahan dengan cara bakar merupakan upaya praktis yang dapat dilakukan perusahaan dalam menghemat pengeluaran biaya "land clearing".
Sementara bagi masyarakat, pembakaran lahan saat memulai pertanian, adalah untuk meningkatkan kesuburan tanah gambut, sehingga mengurangi penggunaan pupuk yang bernilai ekonomi tinggi.
Fakta di lapangan juga menunjukkan ada dua pengguna lahan yang berpotensi membakar saat "land clearing", yakni perkebunan skala besar seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Kemudian petani atau peladang skala kecil pada luasan kurang dari 2 hektar.
Sebagian besar lahan yang terbakar adalah lahan pertanian dan bukan hutan. Selain itu, sebagian besar lahan yang terbakar dan menjadi penyebab asap tebal adalah lahan gambut.
Menurut Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Lahan Basah Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat memiliki ekosistem rawa gambut yang diperkirakan mencapai 1,1 - 1,6 juta hektar atau 11,4 persen dari luas wilayahnya.
Kabupaten Pontianak, Ketapang dan Kapuas Hulu, merupakan daerah yang memiliki lebih dari 300 ribu hektar gambut.
Ekosistem rawa gambut, berperan penting bagi perekonomian dan perkembangan kehidupan. Fungsi ekologi yang dimilikinya menghasilkan jasa lingkungan yang bernilai tinggi, semisal sebagai pengatur suplai air tawar dan pemijahan berbagai spesies ikan sungai.
Namun hutan rawa gambut yang dikeringkan dan terbuka, sangat rentan terjadi kebakaran dan dampak kerusakan ekosistem gambut, salah satunya menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat karena polusi asap lintas negara.
Kebakaran hutan dan lahan gambut, telah menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar ke-3 dalam menyumbangkan emisi gas Carbon Dioksida (CO2) setelah Amerika Serikat dan China.
Sementara menurut Protokol Kyoto, CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca selain, CH4 (Metana) dan N2O yang menjadi penyumbang terbesar bagi pemanasan global.
Menurut Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL) Kalbar, kebakaran hutan bersumber pada tiga sebab utama, yakni manusia karena kesengajaan, manusia karena kelalaian, dan peristiwa alam.
Kebakaran hutan hanya dapat terjadi apabila terdapat nyala api, sedangkan proses nyala api dapat berlangsung apabila ada tiga unsur, yakni bahan bakar, udara dan sumber api.
Masih menurut KAIL, hasil penelitian yang dilakukan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor terhadap kebakaran hutan di Indonesia, menunjukkan sebagian besar asap yang ditimbulkan dari lahan gambut yang berada di Kalbar, Kalimantan Tengah dan Riau.
Asap muncul karena pembakaran lahan gambut yang tidak sempurna. Jika, proses pembakaran tidak sempurna dengan indikasi tingginya kadar air, maka munculah asap.
Produk hukum
Selain melalui upaya sosialisasi, penyuluhan, dan pembinaan dengan dana terkumpul dari tiga instansi --Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Bapedalda-- hanya Rp1 miliar, Pemprov Kalbar juga telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No. 6 tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Peraturan Daerah tersebut, mewajibkan setiap orang dan badan usaha yang berlokasi atau bertempat tinggi, jalan di dalam dan/atau sekitar hutan dan lahan, hendaknya berhati-hati, mewaspadai dan mencegah serta menghindari kegiatan yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan.
Peraturan Daerah itu juga melarang setiap orang membuka lahan dengan cara membakar, merusak/menghilangkan rambu-rambu peringatan dan menyalakan api di sekitar hutan dan lahan yang berpotensi menimbulkan kebakaran. Badan usaha, dilarang membuka lahan dengan cara membakar.
Pelanggar Perda tersebut dapat dikenakan Pidana kurungan maksimal enam bulan dan denda maksimal Rp50.000.
Produk hukum lainnya yang bisa dipergunakan untuk menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan adalah Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001, tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan yang berkaitan dengan Karhutla.
Pada PP tersebut, setiap orang dilarang melakukan pembakaran hutan dan/atau lahan. Pelarangan itu tertuang dalam Pasal 11. Peraturan Pemerintah itu juga mewajibkan setiap orang mencegah terjadi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan/Karhutla (pasal 12), menanggulangi Karhutla di lokasi kegiatan (pasal 17) dan melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup apabila mengakibatkan terjadinya Karhutla (pasal 20).
Dalam Pasal 16 PP, menekankan kewajiban pejabat berwenang yang memberi atau mengeluarkan izin usaha memperhatikan; kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan lahan sebagai sumber daya alam, kesesuaian lahan dengan tata ruang, pendapat masyarakat dan kepala adat, dan pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat berwenang lainnya.
Pelanggar PP tersebut dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Undang-undangan No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan memberi ganti rugi.
Pelanggaran yang merugikan orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi/atau melakukan tindakan tertentu. Hakim dapat menetapkan uang paksa atas tiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tersebut.
Produk hukum lain yang juga menjadi landasan dan dasar hukum bagi pelanggaran Karhutla, yakni UU No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Semua produk hukum yang mengatur itu sudah ada, tinggal bagaimana mengimplementasikannya. Perlu keberanian, kerjasama, dan koordinasi semua pihak (baik instansi/dinas maupun masyarakat petani/pengusaha) untuk melaksanakannya. Bagaimana pun juga, langit biru adalah dambaan kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar