Rabu, 04 Oktober 2006

Foto "Ceritakan" Perkembangan Kota

Oleh: Nurul Chairunnisa (Pontianak Post)

Pontianak,- Berbagai cara dapat digunakan untuk menggambarkan ataupun menginformasikan perubahan perkembangan kota Pontianak. Salah satunya dengan menampilkan karya foto dari fotografer. Demikian dikatakan Ketua DPRD Kota Pontianak H Gusti Hersan Aslirosa,SE pada saat pembukaan pameran foto dan penyerahan hadiah pemenang lomba fotografi, Rabu (4/10) di Metro Meeting Room Hotel Peony.

Hersan mengungkapkan, penyelenggaraan kegiatan ini memiliki arti tersendiri bagi para penyelenggara yaitu kerjasama Hotel Peony dengan Lembaga Kantor Berita Antara biro Pontianak. Sebab, katanya, karya fotografer tidak hanya menyajikan pesan tersirat dalam sebuah foto yang dipublikasikan melalui pameran. Melainkan juga memerlukan kreativitas, nurani, kecekatan, dan keahlian dalam melihat peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

"Maka itu untuk membangkitkan semangat para fotografer Kota Pontianak agar lebih produktif dalam menghasilkan karya-karya yang spektakuler, diperlukan ajang lomba foto seperti ini," katanya.

Dia mengharapkan penilaian yang diberikan kepada peserta merupakan penilaian yang benar-benar objektif sehingga hasil fotografi yang dilombakan dapat menggambarkan profil perkembangan kota Pontianak saat ini.

Sementara itu, pada kesempatan terpisah, salah satu penyelenggara, Nurul Hayat, mengungkapkan tema dari pameran dan perlombaan fotografi ini adalah Modern Urban Living in Pontianak.

Hasil karya foto yang dipamerkan sebanyak 43 karya yang merupakan hasil jepretan dari 18 peserta lomba foto. Ditambah 18 foto karya Pontianak fotografer. "Foto yang berhasil masuk final dalam lomba fotografer sebanyak 20 karya," kata Nurul.

Pemenang pertama dalam lomba fotografer tersebut diraih oleh Aditia Kurniawan, juara II Haryo Damardono, dan juara III Silvia Arinda Pratiwi. Acara tersebut juga dihadiri oleh Kabid Humas Polda Kalbar, Kabid Infokom Disbudpar Pontianak, Kepala Bapedalda dan para fotografer se Pontianak.


Kamis, 20 Juli 2006

APAKAH INDONESIA TELAH GAGAL MENGATASI KABUT ASAP?

Langit biru..., tentu menjadi suatu pemandangan yang indah untuk diabadikan melalui jenis kamera manapun, namun beberapa pekan terakhir, jangan berharap kondisi langit biru dapat dijumpai di Kalimantan dan Sumatera.

Jangankan hendak melihat langit biru, matahari yang bersinar cerah dengan kilau kuningnya pun, sungguh amat jarang bisa dijumpai saat kemarau dan kabut asap melanda sebagian besar wilayah di pulau Kalimantan dan Sumatera saat ini.

Karena setiap siang hingga petang, menjelang terbenam, sang surya itu hanya menampilkan "wajah barunya" yang berwarna merah kelam. Kabut asap telah menjadikan warna sang surya tak lagi indah.
Selain itu, kabut asap juga menjadi topik peliputan berita sehari-hari yang menjadi "angle" di media massa saat kemarau tiba.

Hampir setiap tahun sejak 1997, kabut asap menghias langit di provinsi-provinsi yang ada di Kalimantan dan Sumatera. Selain menghias langit, kabut asap juga menghiasi pemberitaan di media massa daerah maupun nasional.

"Entah awalnya dari mana?" Namun sejak 1997 lalu, kabut asap tebal selalu berulang dan berulang lagi setiap tahunnya hingga 2006 ini.

Sejalan dengan kemunculan kabut asap itu, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, menyampaikan komplain/protes terhadap pemerintah Indonesia yang dinilai tidak serius mengatasi kabut pembawa penyakit itu, karena "mau tak mau" penduduk kedua negara tersebut juga telah menghirup kabut tersebut.

Setelah berusaha mengingatkan aparatur pemerintah dari mulai menteri hingga gubernur, bupati dan walikota pada awal tahun, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tetap harus menerima protes dari negara-negara tetangga tersebut.

Peringatan keras agar tidak ada lagi kabut asap sudah disampaikan oleh Presiden SBY pada April lalu. Isinya tentu saja agar aparatur pemerintah mewaspadai ancaman alam itu. Agar jangan ada lagi Indonesia mendapat tudingan sebagai negara pengeskpor asap bagi negara tetangga.

Namun pada kenyataannya musibah itu tetap terjadi sejak Juli hingga menjelang akhir Oktober ini. Kabut yang semula tipis, seiring semakin lamanya masa musim kemarau, kondisinya semakin tebal dan memperburuk udara.
Apakah Pemerintah telah gagal mengatasi kabut asap? Agaknya pertanyaan itu wajar untuk disampaikan, mengingat hingga kini pun kabut asap masih menyelimuti sebagian kota-kota di Kalimantan dan Sumatera.

Memang hendaknya dalam persoalan kabut asap saat ini, saling menyalahkan agaknya tidak laik lagi menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Karena jika pun masyarakat hendak dipersalahkan sebagai pemicu munculnya kabut asap karena kegiatan pembukaan lahan/hutan, "land clearing", dll, tentu saja mereka akan mengajukan protes kepada pemerintah.

Karena hingga kini belum ada solusi paling tepat yang bisa dilaksanakan masyarakat pertanian Indonesia untuk menghentikan pembersihan, pembukaan lahan/hutan yang ekonomis selain melalui cara pembakaran.
Selain memang tidak bisa menyalahkan masyarakat, kondisi alam juga sangat menentukan sebagai pemicu munculnya kabut asap tersebut.

Kawasan hutan bergambut yang rentan terhadap panas matahari tinggi, menjadikan gambut gampang terbakar dan menimbulkan kabut asap tebal.

Berbagai upaya tampaknya sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, utamanya di Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi yang dianggap pensuplai kabut asap.

Menyusul perintah Presiden SBY agar Indonesia menghentikan ekspor asap, dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kalbar pun mengundang 85 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan kehutanan pada 22 Mei lalu guna menandatangani deklarasi Pernyataan Penghentian Pembakaran Hutan dan Lahan di daerah itu.

Upaya sosialisasi agar masyarakat mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatan pembukaan lahan dengan cara bakar juga telah dilakukan. Bukan hanya pada tahun ini saja tetapi sesungguhnya telah berjalan sepanjang tahun sejak kemunculan pertamannya pada 1997.

Yang cukup menggembirakan, adanya perkembangan terbaru pada 2006 ini, karena dari Kepolisian Daerah Kalbar sudah menahan dan memproses sejumlah orang dan perusahaan yang diduga kuat melakukan atau menjadi penyumbang munculnya kabut asap di Kalbar.

Jika setahun lalu juga pernah ada perusahaan yang disidik karena tersangkut kegiatan pembakaran lahan -- namun tampaknya "diputihkan" -- kali ini kita agaknya bisa berharap lebih banyak bahwa semoga saja mereka yang telah dinyatakan sebagai tersangka itu dapat diproses sesuai ketentuan hukum yang ada.

Penegakan hukum

Jika pada akhirnya Pemerintah harus mengakui telah gagal mengatasi kabut asap, namun kini sejumlah upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakar lahan/hutan yang membuat malu wajah Indonesia, sedang giat-giatnya dilaksanakan sejumlah daerah.

Misalnya saja yang dilakukan Kalbar. Beberapa pemilik/pengelola perusahaan kini sedang dimintai keterangan oleh kepolisian daerah, baik sebagai saksi maupun tersangka dalam kasus pembakaran lahan.
Kepala Bapedal Kalbar, Ir Tri Budiarto mengatakan, sudah ada tujuh kasus melibatkan perusahaan pembakar lahan yang menjalani proses pemeriksaan di Polda Kalbar.

Selain itu, tim penyidik Polda yang bekerjasama dengan Bapedal telah menahan Direktur PT MAR yang beroperasi di Kabupaten Pontianak.

Kedua institusi tersebut Juga tengah menyelidikan tiga perusahaan, yakni PT MSIP, PT W, dan PT BC melalui uji laboratorium di Institut Pertanian Bogor (IPB) guna mengetahui sejauh mana keterlibatan tiga perusahaan itu dalam kegiatan "land clearing" dengan cara bakar.

Masih ada 3 perusahaan lainnya, PT PML, PT CP dan PT MSP yang juga sedang menjalani uji laboratorium. Kemudian dua perusahaan, masing-masing PT INA di Kabupaten Melawi dan PT ANI di Kabupaten Landak.
Sementara sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Besar Polisi Suhadi SW menyatakan selain memeriksa perusahaan, dua warga yang diduga melakukan kegiatan pembakaran lahan juga menjalani pemeriksaan.

Meski perlahan, namun upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan agaknya semakin serius dilaksanakan.

Bahkan menurut Kepala Bapedal Kalbar, selain Riau, Kalbar juga menjadi provinsi percontohan penegakan hukum lingkungan hidup nasional. Pemerintah menetapkan kedua provinsi itu sebagai "pilot project" mengingat banyaknya kasus lingkungan hidup yang mengemuka di kedua provinsi tersebut.

Dari Bapedal Kalbar menyertakan lima penyidik pegawai negeri sipil (PPNS-nya) untuk bekerjasama dengan penyidik Polda mengungkap kasus pembakaran lahan/hutan.

Agaknya inilah saatnya masyarakat bisa berharap banyak terhadap penanggulangan musibah kabut asap. Sehingga di tahun yang akan datang, musibah yang selalu berulang sejak 1997 itu dapat teratasi.

Untuk sebagian besar penduduk di Kalimantan dan Sumatera, pengalaman menghirup udara berkabut asap tebal memang sudah biasa terjadi sepanjang tahunnya. Namun mereka juga harus bersiap menghadapi kenyataan di kemudian harinya, terhadap efek kabut asap yang timbul itu, sebagai pemicu munculnya penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan tentu saja Asma.

Jumat, 26 Mei 2006

GAWAI, UPAYA MENELUSURI JEJAK BUDAYA DAYAK KALBAR

Awan putih dalam selimut kabut hitam menghias langit, bunyi gendang yang ditabuh saling sahut mengisi ruang dengar mereka yang hadir dalam perhelatan syukur kepada Jubata. Langit mendung itu tampak tak mengusik suasana pesta yang baru saja dimulai di rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo, Pontianak, 24 Mei lalu.

Merupakan acara ritual suku-suku Dayak di Kalimantan Barat sebagai pengungkap rasa syukur kepada pencipta, atas hasil panen yang melimpah. Acara itu dalam 20 tahun terakhir disebut sebagai "Gawai" atau Pesta Padi. Semua suku Dayak yang ada di 12 kabupaten/kota, menggunakan momen bulan Mei sebagai bulan perhelatan besar layaknya hari raya agama yang berlangsung setiap tahun.

Dan ketika pesta itu digelar di kampung-kampung, kegiatan saling mengunjungi, makan bersama, dan perlombaan, serta hiburan berlangsung selama beberapa hari. "Semua orang Dayak Kalbar merayakan Gawai pada bulan ini. Baik itu di kampung-kampung maupun di kota," kata seorang tokoh pemuda Dayak, Tobias Ranggie, ketika sedang menyaksikan acara yang dibuka wakil gubernur.


Inilah wujud kebersamaan orang Dayak. Berkumpul, berdoa dan makan bersama untuk mengungkap syukur kepada Jubata, pencipta alam semesti, katanya.

Gawai Dayak di Kalbar berlangsung setiap tahun pada tiap-tiap bulan Mei. Acara itu sudah berlangsung ke 20 kali. Pesta untuk pertama kali terjadi tahun 1986. Pernah sekali tidak terselenggara karena bertepatan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 1998.

Semua warga Dayak yang tinggal di kampung dan di kota, bersuka cita menyambut bulan baik tersebut. Bulan Mei menjadi bulan penuh keceriaan milik orang tua, pemuda/pemudi, dan anak-anak, untuk menikmati hasil panen yang berlimpah dan sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.

Gawai dalam suasana sederhana juga telah berlangsung di desa/kampung suku-suku Dayak yang ada di 12 kabupaten/kota di Kalbar. Seperti yang dilakukan suku Dayak Kantuk di kampung Pala' Pulau, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, acara Gawai dilaksanakan 17 Mei. Ada pula di Kecamatan Mandai, Kapuas Hulu, acara serupa dengan nama "Makai Taun" juga dilaksanakan pada 12-14 Mei.

Dalam suasana Gawai, masyarakat suku Dayak saling berkunjung dan makan bersama keluarga, layaknya lebaran yang dirayakan umat Islam ataupun Natal yang dirayakan umat Kristiani, kata Ansela Sarating, warga Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu.

Sedangkan Gawai yang berlangsung di Kota Pontianak 24-28 Mei, merupakan pesta yang diikuti sanggar-sanggar kesenian se-Kalbar. Dalam acara itu, berbagai kegiatan seni dan hiburan dilaksanakan selama sepekan.

Peringatan Gawai bulan Mei, dalam sejarahnya memiliki makna khusus, yakni bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Kesempatan penyelenggaraan Gawai pada tiap-tiap bulan Mei berdasarkan surat keputusan (SK) gubernur Soejiman pada tahun 1986, tentang Pengaturan Gawai (Pesta Padi) masyarakat Dayak di Kalbar.

Acara itu bukan semata rutinitas tahunan sebagai ungkapan syukur kepada sang Jubata, namun bermakna lebih luas, yakni guna menelusuri jejak budaya suku-suku Dayak di Kalbar. Karena saat Gawai berlangsung, ribuan warga Dayak Kalbar berkumpul menampilkan atraksi seni budaya dan upacara ritual khas dari setiap suku.

Seperti yang baru saja digelar di rumah Betang Panjang Pontianak. Acara ritual adat diikuti perwakilan suku-suku Dayak seperti Kanayant'n, Taman, Iban, Bedayu, Embaloh, dll yang tergabung dalam sanggar kesenian Dayak yang ada di Kalbar.

Penelusuran budaya
Penelusuran budaya agaknya sudah menjadi hal lumrah bagi setiap suku di dunia untuk tidak menghilangkan sejarah yang pernah ada di leluhur mereka. Tetapi tidak banyak dari suku-suku yang ada di dunia, berhasil mempertahankan adat istiadat dan budaya warisan leluhur itu.

Upaya itulah yang kini sedang dilakukan oleh orang Dayak di Kalbar dewasa ini. Baik masyarakat, tokoh, para elit dari suku asli di pulau Kalimantan tersebut, menaruh harapan besar agar adat budaya leluhur mereka tetap dipertahankan meskipun generasi muda Dayak saat ini juga harus menghadapi globalisasi, modernisasi.

Seperti penuturan Sekretaris Panitia Pesta Gawai Dayak 2006, F Sudarman belum lama ini, bahwa acara itu bukan hanya mengumpulkan warga dan kemudian menampilkan aneka ragam budaya seperti yang selalu dilakukan setiap tahunnya.

Bukan pula sebuah pesta mabuk-mabukan, sampai "nyolor" (teler) karena minum tuak dan kebanyakan makan. Tetapi, dalam perjalanan beberapa tahun belakangan, kegiatan itu menjadi momen penting orang Dayak Kalbar untuk menelusuri jejak budaya leluhur mereka. "Penelusuran jejak budaya itu penting untuk generasi muda suku Dayak," kata Sudarman lagi.

Pengakuan senada juga diungkapkan Tobias Ranggie, yang dari tahun ke tahun mengamati perkembangan pesta Gawai tersebut. Dahulu, ujarnya, Gawai bisa diakui sebagai kegiatan rutin untuk setiap tahun. Tetapi kali ini maknanya menjadi luas seiring dengan semakin berkembangnya zaman. Makna lain dari perayaan Gawai ini adalah juga untuk menjawab tantangan ke depan. "Jangan sampai ke depan, kita tidak mempunyai identitas," katanya.

Setidak-tidaknya orang Dayak mengetahui kebudayaannya sendiri. Karena pada kenyataannya, banyak dari masyarakat Kalbar tidak mengetahui apa itu Gawai Dayak. Orang Dayak tampaknya sudah menyadari betapa pentingnya melestarikan adat budaya leluhur agar tidak punah ditelan zaman. Oleh karena itu, adanya pesta Gawai menjadi kesempatan berarti bagi masyarakat Dayak menghimpun yang masih tersisa dari peninggalan generasi tua, "entah" itu yang terserak atau tercerai berai pada masing-masing suku yang ada.

"Adat istiadat leluhur yang masih bisa dikumpulkan mesti diketahui oleh generasi muda. Agar mereka dapat menjaga dan melestarikan pada masa berikutnya," jelas Tobias lagi.

Pelestarian adat budaya Dayak penting untuk masa depan, jika mengingat jumlah orang Dayak di Kalbar sekitar 1,6 juta jiwa dari total penduduk Kalbar yang mencapai 3.722.172 jiwa. Menurut ia, kebudayaan yang dijaga dengan baik oleh masyarakatnya, dapat menjadi "alat" komunikasi antarsuku bangsa.

Kebudayaan juga dapat berinovasi sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun adat istiadat dan budaya Dayak yang masih dapat dipertahankan, misalnya, upacara tolak bala, menolak balak atau musibah saat perayaan seperti saat Gawai.

Upacara tolak balak itu dikenal dengan upacara baliat'n dan ngampar bide. Kedua acara itu biasanya dilaksanakan saat ada hajatan besar. Kemudian olahraga tradisional yang dikemas dalam bentuk perlombaan seperti perlombaan enggrang, pangkak gasing -- memiliki makna masa lalu -- sebagai kegiatan memecahkan kantong padi, menyumpit, dll.

Gawai juga dapat diisi dengan acara bernuansa baru seperti festival bujang dan dara Dayak, perlombaan memasak makanan khas Dayak, dan lomba melukis. Semua itu dilakukan sebagai upaya penelusuran jejak budaya Dayak yang selama ini terserak dan tercerai berai pada tiap-tiap generasi dan subsuku yang sejak lama tidak pernah tersimpan dalam dokumen.

Pengumpulan dokumen/arsip
Ketiadaan dokumen dan arsip adat istiadat peninggalan leluhur, mengakibatkan pemerintah daerah Kalbar berupaya keras mengumpulkan data dalam bentuk file tulisan, gambar foto, dan gambar bergerak mengenai adat istiadat dan budaya orang Dayak.

"Dokumen itu dikumpulkan dari banyak pihak dan tempat. Apakah itu milik masyarakat umum, seniman, dan budayawan ataupun dari wartawan yang pernah mendokumentasikan acara-acara adat Dayak seperti Gawai atau Naik Dango, dan lain-lain," kata Wakil Gubernur Kalbar, Laurensius Herman Kadir.

Dokumen, menurut ia, penting untuk inventarisasi aset budaya suatu bangsa. Karena itu pemerintah daerah sedang berupaya mengumpulkan dokumen atau data-data yang mungkin dimiliki oleh masyarakat.

Sementara itu, Herry Djaung, Kepala Badan Komunikasi, Informasi dan Kearsipan (BKIK) daerah Kalbar, mengakui, diperkirakan dokumentasi mengenai adat istiadat atau upacara seperti Gawai hanya terdokumentasi dalam 5 tahun terakhir. Sedangkan untuk mendapatkan dokumen pada 10 tahun yang lalu, memerlukan kerja keras, dan mungkin hanya sebagian kecil saja yang ada dan tersimpan dalam koleksi dokumentasi masyarakat umum. Ia menambahkan, telah meminta kepada petugas peliput dari badan yang dipimpinnya agar dapat mendokumentasikan dengan baik setiap upacara adat suku Dayak Kalbar.

Dokumen itu bisa berupa gambar pakaian tradisional. Seperti saat Gawai Dayak di rumah Betang Panjang Pontianak, sejumlah orang yang hadir dalam perayaan itu mendapat topi-topi khas suku Dayak dari Kabupaten Ketapang. "Ini suatu ciri khas. Kita selama ini tidak tahu bahwa pada orang Dayak dari Ketapang ada topi-topi khas yang berbeda bentuknya dengan topi orang Dayak yang mendiami daerah lain," katanya.

Ia menyatakan keanekaragaman adat istiadat, budaya, atau pun ciri khas suatu suku adalah aset dan potensi seni budaya yang tinggi. Selain mengumpulkan dokumen, inventarisasi event budaya yang ada di setiap suku yang ada Kalbar, sehingga dapat terus dilestarikan. Sehingga, jangan sampai terjadi suatu negeri menjadi kehilangan identitas karena lupa dengan adat istiadat dan budaya leluhur.