Kamis, 20 Juli 2006

APAKAH INDONESIA TELAH GAGAL MENGATASI KABUT ASAP?

Langit biru..., tentu menjadi suatu pemandangan yang indah untuk diabadikan melalui jenis kamera manapun, namun beberapa pekan terakhir, jangan berharap kondisi langit biru dapat dijumpai di Kalimantan dan Sumatera.

Jangankan hendak melihat langit biru, matahari yang bersinar cerah dengan kilau kuningnya pun, sungguh amat jarang bisa dijumpai saat kemarau dan kabut asap melanda sebagian besar wilayah di pulau Kalimantan dan Sumatera saat ini.

Karena setiap siang hingga petang, menjelang terbenam, sang surya itu hanya menampilkan "wajah barunya" yang berwarna merah kelam. Kabut asap telah menjadikan warna sang surya tak lagi indah.
Selain itu, kabut asap juga menjadi topik peliputan berita sehari-hari yang menjadi "angle" di media massa saat kemarau tiba.

Hampir setiap tahun sejak 1997, kabut asap menghias langit di provinsi-provinsi yang ada di Kalimantan dan Sumatera. Selain menghias langit, kabut asap juga menghiasi pemberitaan di media massa daerah maupun nasional.

"Entah awalnya dari mana?" Namun sejak 1997 lalu, kabut asap tebal selalu berulang dan berulang lagi setiap tahunnya hingga 2006 ini.

Sejalan dengan kemunculan kabut asap itu, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, menyampaikan komplain/protes terhadap pemerintah Indonesia yang dinilai tidak serius mengatasi kabut pembawa penyakit itu, karena "mau tak mau" penduduk kedua negara tersebut juga telah menghirup kabut tersebut.

Setelah berusaha mengingatkan aparatur pemerintah dari mulai menteri hingga gubernur, bupati dan walikota pada awal tahun, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tetap harus menerima protes dari negara-negara tetangga tersebut.

Peringatan keras agar tidak ada lagi kabut asap sudah disampaikan oleh Presiden SBY pada April lalu. Isinya tentu saja agar aparatur pemerintah mewaspadai ancaman alam itu. Agar jangan ada lagi Indonesia mendapat tudingan sebagai negara pengeskpor asap bagi negara tetangga.

Namun pada kenyataannya musibah itu tetap terjadi sejak Juli hingga menjelang akhir Oktober ini. Kabut yang semula tipis, seiring semakin lamanya masa musim kemarau, kondisinya semakin tebal dan memperburuk udara.
Apakah Pemerintah telah gagal mengatasi kabut asap? Agaknya pertanyaan itu wajar untuk disampaikan, mengingat hingga kini pun kabut asap masih menyelimuti sebagian kota-kota di Kalimantan dan Sumatera.

Memang hendaknya dalam persoalan kabut asap saat ini, saling menyalahkan agaknya tidak laik lagi menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Karena jika pun masyarakat hendak dipersalahkan sebagai pemicu munculnya kabut asap karena kegiatan pembukaan lahan/hutan, "land clearing", dll, tentu saja mereka akan mengajukan protes kepada pemerintah.

Karena hingga kini belum ada solusi paling tepat yang bisa dilaksanakan masyarakat pertanian Indonesia untuk menghentikan pembersihan, pembukaan lahan/hutan yang ekonomis selain melalui cara pembakaran.
Selain memang tidak bisa menyalahkan masyarakat, kondisi alam juga sangat menentukan sebagai pemicu munculnya kabut asap tersebut.

Kawasan hutan bergambut yang rentan terhadap panas matahari tinggi, menjadikan gambut gampang terbakar dan menimbulkan kabut asap tebal.

Berbagai upaya tampaknya sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, utamanya di Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi yang dianggap pensuplai kabut asap.

Menyusul perintah Presiden SBY agar Indonesia menghentikan ekspor asap, dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kalbar pun mengundang 85 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan kehutanan pada 22 Mei lalu guna menandatangani deklarasi Pernyataan Penghentian Pembakaran Hutan dan Lahan di daerah itu.

Upaya sosialisasi agar masyarakat mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatan pembukaan lahan dengan cara bakar juga telah dilakukan. Bukan hanya pada tahun ini saja tetapi sesungguhnya telah berjalan sepanjang tahun sejak kemunculan pertamannya pada 1997.

Yang cukup menggembirakan, adanya perkembangan terbaru pada 2006 ini, karena dari Kepolisian Daerah Kalbar sudah menahan dan memproses sejumlah orang dan perusahaan yang diduga kuat melakukan atau menjadi penyumbang munculnya kabut asap di Kalbar.

Jika setahun lalu juga pernah ada perusahaan yang disidik karena tersangkut kegiatan pembakaran lahan -- namun tampaknya "diputihkan" -- kali ini kita agaknya bisa berharap lebih banyak bahwa semoga saja mereka yang telah dinyatakan sebagai tersangka itu dapat diproses sesuai ketentuan hukum yang ada.

Penegakan hukum

Jika pada akhirnya Pemerintah harus mengakui telah gagal mengatasi kabut asap, namun kini sejumlah upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakar lahan/hutan yang membuat malu wajah Indonesia, sedang giat-giatnya dilaksanakan sejumlah daerah.

Misalnya saja yang dilakukan Kalbar. Beberapa pemilik/pengelola perusahaan kini sedang dimintai keterangan oleh kepolisian daerah, baik sebagai saksi maupun tersangka dalam kasus pembakaran lahan.
Kepala Bapedal Kalbar, Ir Tri Budiarto mengatakan, sudah ada tujuh kasus melibatkan perusahaan pembakar lahan yang menjalani proses pemeriksaan di Polda Kalbar.

Selain itu, tim penyidik Polda yang bekerjasama dengan Bapedal telah menahan Direktur PT MAR yang beroperasi di Kabupaten Pontianak.

Kedua institusi tersebut Juga tengah menyelidikan tiga perusahaan, yakni PT MSIP, PT W, dan PT BC melalui uji laboratorium di Institut Pertanian Bogor (IPB) guna mengetahui sejauh mana keterlibatan tiga perusahaan itu dalam kegiatan "land clearing" dengan cara bakar.

Masih ada 3 perusahaan lainnya, PT PML, PT CP dan PT MSP yang juga sedang menjalani uji laboratorium. Kemudian dua perusahaan, masing-masing PT INA di Kabupaten Melawi dan PT ANI di Kabupaten Landak.
Sementara sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Besar Polisi Suhadi SW menyatakan selain memeriksa perusahaan, dua warga yang diduga melakukan kegiatan pembakaran lahan juga menjalani pemeriksaan.

Meski perlahan, namun upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan agaknya semakin serius dilaksanakan.

Bahkan menurut Kepala Bapedal Kalbar, selain Riau, Kalbar juga menjadi provinsi percontohan penegakan hukum lingkungan hidup nasional. Pemerintah menetapkan kedua provinsi itu sebagai "pilot project" mengingat banyaknya kasus lingkungan hidup yang mengemuka di kedua provinsi tersebut.

Dari Bapedal Kalbar menyertakan lima penyidik pegawai negeri sipil (PPNS-nya) untuk bekerjasama dengan penyidik Polda mengungkap kasus pembakaran lahan/hutan.

Agaknya inilah saatnya masyarakat bisa berharap banyak terhadap penanggulangan musibah kabut asap. Sehingga di tahun yang akan datang, musibah yang selalu berulang sejak 1997 itu dapat teratasi.

Untuk sebagian besar penduduk di Kalimantan dan Sumatera, pengalaman menghirup udara berkabut asap tebal memang sudah biasa terjadi sepanjang tahunnya. Namun mereka juga harus bersiap menghadapi kenyataan di kemudian harinya, terhadap efek kabut asap yang timbul itu, sebagai pemicu munculnya penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan tentu saja Asma.

Tidak ada komentar: