Sabtu, 29 September 2007

Dokter : Peluru Tembus Jantung Nagai

YANGON, MYANMAR, 28/9 - TERTEMBAK. Wartawan APF Kenji Nagai terbaring di jalan setelah terkena peluru yang ditembakkan polisi dan anggota militer pada pengunjuk rasa di Yangon, Myanmar, Kamis (27/9). Nagai (52), seorang fotografer Jepang, tertembak saat tentara menggunakan senjatanya untuk membubarkan massa. Nagai kemudian tewas. FOTO ANTARA-REUTERS/stringer/ox/07.


Batam (ANTARA News) - Jantung Kenji Nagai ditembus anak peluru dari arah bawah dada kanan dan keluar lewat punggung, kata dokter Kedubes Jepang seperti dikutip jubir Pemerintah Jepang Nobutaka Machimura, Jumat.


Nagai, Kamis, tewas diterjang anak peluru yang ditembakkan militer Myanmar dari jarak dekat di Yangon. Nagai, 50, adalah wartawan televisi untuk Asian Press Front yang berbasis di Tokyo

Ia menjadi wartawan media asing pertama yang tewas di medan peliputan sembilan hari aksi para biksu dan kelompok prodemokrasi Myanmar menghadapi junta militer yang berkuasa di negara itu.

AFP yang dikutip Chanel News Asia memberitakan, Pemerintah Jepang akan melancarkan protes dan menyelidik apakah Nagai dibunuh secara sengaja.

Sementara itu Televisi Fuji mengatakan Nagai dibunuh secara sengaja, bukan akibat peluru nyasar.

Nagai, 50, adalah wartawan televisi untuk Asian Press Front yang berbasis di Tokyo dan telah berpengalaman meliput di beberapa daerah panas dan berbahaya.(*)

Kamis, 20 September 2007

DERITA PEREMPUAN KORBAN KONFLIK SANGGAU LEDO

Oleh Nurul Hayat

"Hidup ini susah. Bagaimana nanti ya... kalau di akhirat, apakah juga makin susah," kata Sukadimah, perempuan paruh baya, korban kerusuhan sosial 1996-1997 di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.

Sukadimah, tidak mengetahui usianya telah "berkepala" berapa. Namun dari gurat keriput di wajahnya, perempuan itu terlihat seperti "memegang" beban berat.

"Orang Madura dek.., mana pernah peduli dengan usia sudah berapa," katanya, seolah mengingatkan hidup seseorang bukan berdasarkan usianya.

"Allah...Allah... susahnya hidup. Ini mau puasa, tapi tidak ada uang," katanya dengan tangan mengusap kedua pipinya sambil duduk di tangga teras depan kantor Gubernur Kalbar Jalan Ahmad Yani, Pontianak.

Perempuan beranak lima itu, hanyalah salah satu dari ratusan warga yang mengikuti unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin (10/9).

Selain Sukadimah masih ada Misura, yang mengaku berusia 40-an tahun. Misura memiliki tujuh anak, dua di antaranya sudah berumah tangga. Sehari-hari hidupnya bekerja sebagai pemecah batu.

"Sejak tinggal di Peniraman (Kabupaten Pontianak) 10 tahun ini, saya jadi tukang batu," kata perempuan bertubuh kecil dan berkerudung itu.

Menurutnya, kebanyakan perempuan korban kerusuhan Sanggau Ledo, harus kerja keras banting tulang membantu suami, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia memilih menjadi tukang batu atau penetak batu, karena di tempat tinggalnya --pinggir jalan lintas Pontianak-- memang terkenal sebagai penghasil batu untuk bahan bangunan dan pembuatan jalan.

"Kerja batu berat. Kalau puasa sanggup kerja, saya kerja. Tapi kalau tak kuat, ya libur saja. Itu artinya tidak ada penghasilan," katanya.

Dalam empat hari kerja, Misura dan suami bisa mengumpulkan pecahan batu untuk mengisi satu truk. Batu-batu itu dijual kepada penampung warga setempat Rp50.000 per truk.

"Itu tak cukup untuk makan. Syukurnya anak-anak juga membantu mengumpulkan batu-batu," kata wanita yang pernah menetap di Salatiga, Kabupaten Bengkayang itu.

Saat masih di Salatiga, Misura dan suami menjadi penoreh karet milik tuan tanah setempat. Hasilnya memang tidak besar. Dalam satu hari bisa dapat lima kilogram karet yang upahnya dibayarkan Rp500 per kg.

"Itu penghasilan 10 tahun lalu. Tetapi cukup untuk hidup kami sekeluarga," katanya. Namun sejak mengungsi ke Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, dia mesti menjadi penetak batu. "Diam (tinggal) di Peniraman tidak dapat apa-apa," katanya.

Sementara Rosita (25), perempuan lainnya, memilih hanya mengurus rumah dan mengasuh dua anak yang masih berusia 4 dan 2,5 tahun.

"Saya tidak bekerja. Suami saja yang kadang-kadang jadi penebang kayu atau tukang batu," kata perempuan kelahiran Terohok, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu.

Rosita, 10 tahun lalu masih remaja. Ikut mengungsi ke daerah Motong Tinggi, Kecamatan Anjungan, Kabupaten Pontianak, bersama keluarga besarnya.

Ia bertemu jodoh teman sekampung asal Terohok, Mandor. Sambil menahan sakit di perut, perempuan itu menyatakan rata-rata para ibu yang ikut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, sehari-harinya bekerja, sebagai tukang batu.

Begitu kerasnya hidup yang mesti dijalani para perempuan korban kerusuhan itu. Sehingga harus merelakan tangan dan kaki menjadi kasar dan "kapalan", karena harus "menaklukan" batu-batu di perbukitan. Tentu saja, mereka juga harus siap mati terkena longsoran reruntuhan tanah dan batu dari bukit yang rusak.

Mana perhatiannya?

Warga dari pengungsian Motong Tinggi mendatangi DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar untuk meminta ganti rugi aset-aset mereka yang telah ditinggalkan dan mengharapkan perlindungan hukum.

Selain itu juga meminta disediakannya pemukiman yang layak beserta fasilitasnya, menuntut jatah hidup selama 10 tahun yang belum diberikan, dan menuntut penanganan lebih serius Pemprov Kalbar agar permasalahan tersebut secepatnya bisa diselesaikan.

Koordinator Forum Peduli Pengungsi Pasca Konflik Sosial, Junaidi (39) mengatakan, "Kami sudah 10 tahun menunggu, tapi hingga kini belum ada realisasi dari Pemprov Kalbar."

Sebagai warga negara Indonesia, menurutnya, semua memiliki hak yang sama. Namun yang terjadi selama 10 tahun, mereka harus menderita di barak pengungsian Motong Tinggi tanpa ada kejelasan. Para pengunjuk rasa itu kecewa, mereka seperti diperlakukan sebagai "anak tiri".

Mereka mengharapkan bantuan yang sama yang pernah diberikan kepada para pengungsi korban kerusuhan Sambas, 1999 lalu. "Kami tak dapat rumah. Tak dapat uang atau pun bantuan makanan. Mengapa kami tidak bisa mendapatkannya," kata seorang perempuan kurus dengan bayi dalam gendongan.

Warga yang berunjuk rasa itu, menyatakan diperlakukan tidak adil. Karena pengungsi korban kerusuhan Sambas, sudah mengikuti relokasi -- mendapatkan rumah, tanah dan jatah hidup -- di sejumlah kawasan dalam wilayah Kabupaten Pontianak.

Aksi kali ini, untuk ketigakalinya mereka lakukan. Pada Juni lalu, Asisten I Sekretaris Daerah Kalbar, Ignatius Lyong menyatakan Pemprov akan segera menyelesaikan permasalahan para korban konflik bernuansa SARA 1996-1997 itu.

Mereka ingin bertemu Gubernur Usman Ja'far dan Sekretaris Daerah Syakirman, untuk menanyakan secara langsung nasib mereka selanjutnya. Namun kedua orang tersebut sedang tidak berada di tempat.

"Gubernur kabarnya sudah membentuk tim penanganan pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo. Tetapi mana buktinya?" kata Junaidi saat berorasi di teras depan kantor Gubernur Kalbar.

Sekretaris Tim Penanganan Pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo, Totot WD saat berdialog dengan perwakilan warga tersebut, mengakui tim sudah dibentuk oleh Gubernur Kalbar dengan No. 482 tahun 2007 sejak Juni lalu. Tetapi itu baru sekedar pembentukan tim kerja yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah termasuk unsur Polda Kalbar.

"Hingga kini dana untuk pemberian Jadup dan lain sebagainya masih belum ada, sehingga kami masih belum bisa bekerja. Saya minta para korban kerusuhan bisa bersabar," katanya.

Akibat kerusuhan dua etnis pada 1996-1997, sekitar 1.770 kepala keluarga atau sekitar 9.000 warga yang terpaksa mengungsi di dua barak yaitu barak Galang dan Motong Tinggi, yang terletak di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Dalam aksi unjuk rasa ke DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, selain para laki-laki dan perempuan dewasa, juga tampak anak-anak berusia di bawah 10 tahun. "Anak-anak kami ikut ke sini, karena mereka tidak bersekolah," kata Misura.

KEBANGGAAN PEMBUAT SAMPAN LOMBA


Oleh Nurul Hayat

“Ban-ban go, ban-ban go, ayo dayung menuju finish,” begitulah teriakan nyaring yang terdengar saat perahu berwarna merah muda meluncur di sungai Landak, Kabupaten Landak. Di atas perahu atau sampan, duduk 8 orang yang terdiri dari 2 manajer dan 6 pendayung yang berusaha keras mencapai finish guna meraih kemenangan, dalam lomba sampan perayaan Festival Budaya Melayu Landak.

Keringat membasahi kaos dalam putih yang dikenakan para pedayung dari Serimbu, Kecamatan Air Besar, yang untuk pertama kalinya ikut meramaikan pesta budaya masyarakat Melayu di kabupaten 178 km dari utara Kota Pontianak itu.

Tepuk tangan, sorak sorai mewarnai lomba sampan yang diikuti 26 regu dari seluruh kota kecamatan di Landak. Satu demi satu, regu dayung tersisih ke belakang, terkalahkan oleh tim yang lebih kuat.


Namun tim dari Serimbu, bertahan pada posisi pertama, dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek sederhana, mereka tetap bersemangat berusaha berada di tempat terdepan.
Di antara sorak sorai para pendukung tim dayung itu, terukir senyuman seorang laki-laki berkulit coklat gelap. Laki-laki itu bernama Herman Suhandri, berusia 28 tahun dan dikenal sebagai pembuat sampan.

Putra Melayu desa Serimbu, Kecamatan Air Besar itu tampak tersenyum ceria tatkala menyadari tim desanya berada di urut depan peserta lomba, yang artinya mengalahkan tim dari kecamatan lain.
Ketika ditemui, pria berbadan kurus itu masih mengukir senyum, menandakan kebanggaan dan keberhasilan sebagai pembuat sampan lomba.

“Saya membuat sampan itu selama seminggu. Senang ketika melihat teman-teman membawanya menuju ke finish,” kata pria itu.


Herman baru sekitar 2 tahun ini membuat sampan. Setelah menyaksikan ayahnya, Abdul Liman, 52, menghidupi keluarga selama belasan tahun dari usaha membuat “kendaraan” terapung tanpa mesin itu.


Karena ketertarikan dengan pekerjaan orang tuanya, mendorong Herman untuk belajar membuat sampan. Setelah dua tahun berguru pada sang ayah, jadilah dua sampan untuk perlombaan mendayung yang digunakan tim dari desanya mengikuti lomba dalam Festival Budaya Melayu Landak.
Tanpa sungkan, Herman memuji hasil karyanya itu.

“Selain teman-teman, peserta lomba dari kecamatan lain juga sudah mencoba sampan bikinan saya. Mereka juga menyatakan bagus dan enak dipakai,” katanya.
Kayu medang
Perahu buatan Herman, berasal dari kayu hutan. Bukan sembarang kayu yang dapat digunakan. Tetapi kayu itu, bernama Medang. Kayu itu ia peroleh dengan membeli dari masyarakat penebang hutan. Kayu yang dipilih, tentu saja kayu yang berasal dari batang tua berumur belasan atau bahkan puluhan tahun.


Kayu itu, biasanya berdiameter 50 cm atau lebih. Keunggulan kayu Medang atau batang Medang Ijuk di banding jenis kayu hutan lainnya, karena tahan lama atau awet, ringan, bagus dan kuat.
Kayu baru dapat digunakan setelah seminggu diambil dari hutan, selama waktu itu, kayu juga mesti dikeringkan sekitar tiga hari. Karena kayu harus benar-benar mati dengan kadar air yang sedikit. Ada juga jenis kayu Leban, namun sampan yang dihasilkan dari bahan kayu ini tidak sebagus sampan dari bahan kayu Medang.

Untuk membuat sampan, yang mesti dilakukan pertama kali adalah membuat bentuk atau model sampan tersebut. Jika modelnya bagus, maka sampan yang dihasilkan pun akan bagus.
Agar sampan itu menjadi bagus, papan sambungan bingkai dan badan dipaku dengan paku dan bagian kepalanya dimasukan ke dalam papan dan dipantak. Badan perahu setengah jadi itu dibentuk dengan bantuan tali. Sehingga ketika dibuka, menghasilkan bentuk yang diinginkan, yakni bentuk bergelombang.

Dalam pembuatan sampan, bagian yang tersulit adalah saat membuat tajuk atau tulang rusuk. Perlu ketekunan untuk mengerjakan bagian tersulit dari proses pembuatan perahu itu.
Tingkat kesulitan tertinggi yang ia alami, adalah ketika menyiapkan tajuk atau tulang rusuk sampan tersebut. Karena perakit sampan harus terampil menyusun sambungan kayu untuk tajuk. Setelah itu, kemampuan pembuatan sampan masih diuji lagi saat menyambung antara rusuk dengan bingkai. Bagian itu mesti dibuat kreasi yang indah dan bagus.

Setelah menyambung satu kayu dengan kayu lainnya, dan dipaku dengan cukup kuat. Setiap bagian sambungan papan mesti diberi lem. Bahan perekat ini pun tidak bisa sembarangan. Herman mesti menggunakan perekat dari bahan damar yang juga diperoleh dari alam.


Lem dari bahan damar itu disebut keruing. Cara pembuatannya, damar terlebih dahulu mesti ditumbuk, dihaluskan menjadi seperti tepung yang menghasilkan getah. Getah itu dicampur minyak solar dan air panas, dijemur di bawah panas matahari.
“Setelah itu baru lem dapat digunakan,” jelasnya.

Setelah sampan jadi, maka dilakukan ujicoba atau tes apakah bocor atau tidak. Untuk mengetahui kemungkinan bocor, sampan dibawa ke sungai di desa tersebut. Baru jika tidak ada genangan air di dalam perahu, maka selesailah pembuatan sampan untuk lomba itu.


Perahu dapat bertahan dua tahun sampai dengan tiga tahun. Perahu bikinan Herman, yang memiliki panjang 8 meter lebar 90 centimeter dan ketinggian dari tanah skeitar 70 centimeter, dijual dengan harga Rp3 juta.
Ritual jelang lomba

Bagi masyarakat Serimbu, tradisi menggunakan sampan sudah berlangsung sejak lama dan “menular” dari satu generasi ke generasi lain. Di desa perhuluan sungai Landak itu, masyarakat Melayu-nya terbiasa hidup dengan air sungai. Hampir semua aktivitas hidup sehari-hari yang terkait dengan air, berlangsung di sungai kampung tersebut.


Jalan sungai menuju ke permukiman penduduk setempat pun mesti melewati rentetan jeram yang sambung menyambung. Jika air sungai Landak surut, dapat disaksikan rangkaian jeram atau riam berjeret seperti hendak “menelan” mereka yang mencoba menantang alam.


Seorang pemuda setempat, Mustari, 41, menyatakan, selain melewati rangkaian riam di sungai Landak, untuk dapat sampai ke kampung penghasil intan itu, melalui jalan darat yang saat ini dalam kondisi rusak berat.


“Jalan berlubang-lubang. Jika hujan, timbul genangan di banyak tempat di jalan Ngabang-Serimbu,” kata Wakil Ketua Kontingen Kecamatan Air Besar itu.
Jarak dari Ngabang menuju Serimbu yang sejauh 178 km, mesti ditempuh melalui perjalanan darat selama 4-5 jam.
Lamanya waktu tempuh itu karena kondisi jalan yang rusak parah. Sehingga mobil angkutan umum, jenis “pick up” harus menerjang genangan air lumpur yang memenuhi ruas jalan menuju ke desa tersebut.


Meski begitu, tidak membuat semangat tim lomba sampan Serimbu “patah arang”.
Namun justru membuat sebanyak 20 orang pedayung setempat berjuang melawan tantangan awal sebelum tantangan dalam perlombaan berlangsung.

Baik Mustari maupun Herman mengatakan, untuk persiapan lomba, warga kampungnya menyiapkan ritual khusus agar tim lomba dari desa itu memiliki semangat juang dan terhindar dari “balak” (musibah).


Penduduk kampung, menurut Herman, menyiapkan acara pengungkupan atau pembacaan doa selamat. Sebagai syarat untuk ritual itu, maka diperlukan seekor ayam dan nasi kuning yang kemudian dibacakan doa selamat oleh tetua (orang yang dianggap tua) setempat.
Namun ritual itu, ternyata tidak diterapkan saat pembuatan sampan. “Tidak ada doa khusus saat membuat sampan. Hanya doa biasa yang dilakukan ayah saya,” imbuhnya.

Perbedaan antara sampan lomba dengan sampan biasa, adalah dari bentuk dan ukuran. Sampan biasa, memiliki panjang 6 meter dan memiliki lebar lebih besar dari sampan lomba, yakni mencapai 1 meter.


Sedangkan sampan untuk lomba, biasanya memiliki panjang standar 8 meter atau 12 meter dengan lebar 90 centimeter.
Khusus sampan buatan Herman, memiliki panjang 8 meter. Dengan dayung sepanjang 1,60 meter dan lebar 80 centimeter. Ukuran itu merupakan ukuran ideal karena sampan menjadi mudah untuk difungsikan daripada sampan dengan panjang 12 meter. Sampan dengan panjang 12 meter, sulit dikemudikan. Kalau pendek, mudah didayung, laju, dan terasa enak menaikinya.

Kebanggaan terhadap sampan buatannya, tidak terlepas dari pujian yang disampaikan teman-temannya bahkan tim dari kecamatan lain. “Sampan saya sudah dicoba oleh tim kecamatan lain. Mereka memuji karena sampan tidak gampang ‘oleng’ saat ada gelombang,” katanya.
Herman tidak memiliki cita-cita muluk, tetapi sebagai pembuat sampan, ia merasa bangga dapat membaktikan diri bagi kampung halaman tercinta.

“Bangga, sangat bangga ketika melihat sampan buatan saya ikut dalam lomba dan berhasil tiba di finish mendahului peserta lain,” kata pria berkulit legam itu.


foto by: Muhlis Suhaeri

PEMKOT PONTIANAK PERTAHANKAN JEMBATAN KAYU SUNGAI KAPUAS


Pontianak, 3/9 (ANTARA) - Pemerintah Kota Pontianak akan tetap mempertahankan keberadaan jembatan kayu di pinggir sungai Kapuas yang sambung-menyambung antara satu kampung dengan lainnya, yang menjadi jembatan kayu terpanjang di dunia sebagai ciri khas kota tersebut.

"Ada satu ciri khas Kota Pontianak yang mesti dipertahankan, jembatan kayu yang sudah ada sejak dahulu. Ada keinginan warga agar jembatan yang menyisir pinggir sungai Kapuas itu dibangun dari beton. Tetapi kami menginginkan agar ciri khas kayunya tetap dipertahankan," kata Wakil Walikota Pontianak Sutarmidji, saat menjadi pembicara dalam diskusi publik "Kebijakan Pembangunan di Kota Pontianak", Senin.


Jika masyarakat menghendaki pembangunan kembali jembatan itu, ia mengatakan hendaknya ciri khas kayu tetap dipertahankan dan bukan dibangun ulang dari bahan semen atau beton. "Jika untuk tiang mungkin bisa dari bahan beton. Tetapi untuk lantai, tetap dari kayu," jelasnya.


Menurutnya, dalam membangun jembatan, tidak mesti mengikuti keinginan masyarakat yang menyatakan telah bosan dengan jembatan kayu dan menginginkan jembatan beton. Keberadaan jembatan kayu tersebut, menjadi objek atau daya tarik tersendiri bagi kota.


Selain tetap mempertahankan jembatan di sepanjang sungai Kapuas, Wakil Walikota itu juga menyatakan Pemkot Pontianak akan tetap mempertahankan beberapa bangun tua yang masih ada sampai saat ini. Bangunan itu di antaranya kantor Pos (lama) Jl Rahadi Osman yang dibangun masa penjajahan Belanda.

Kemudian bangunan Sekolah Dasar Negeri 14, Jl Tamar yang juga berusia ratusan tahun. Sekolah dasar bergaya Melayu tersebut akan direnovasi namun tetap mempertahankan bentuk bangunan aslinya.


Meski menjadikan Pontianak sebagai kota jasa dan perdagangan, menurut Sutarmidji, pemerintah merencanakan kondisi di Parit Besar dari Jl Tanjungpura - Jl Barito yang merupakan pusat pertokoan tua dapat tetap dipertahankan. "Lokasi itu akan menjadi 'kota tua' dan akan tetap dipertahankan. Kita tidak bisa mengubah kota dalam waktu sekejap," katanya.
Sementara itu, Penulis dan Budayawan, A Halim Ramli menyatakan, Kota Pontianak juga mesti membangun seni publik guna menampilkan "wajah indah" kota tersebut.

Adapun bentuk bangunan baru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri I, di Jl Jenderal Urip Sumohardjo Pontianak yang bergaya kuno dan kini menjadi modern, menurutnya hal itu tidak menjadi masalah. "Bangunan tua SLTPN I memang tidak layak dipertahankan. Ketradisionalannya tidak perlu dipertahankan," katanya. Bentuk bangunan yang ada saat ini sangat menarik dan indah, bahkan seperti sebuah bangunan hotel.


Sedangkan mengenai bangunan penjara, menurut Halim Ramli, sudah saatnya tidak dibangun dengan bentuk yang menunjukkan simbol penjara yang selalu digambarkan menakutkan. "Alangkah baik kalau penjara juga dibangun tidak seperti penjara," kata Halim Ramli yang juga menciptakan maskot Burung Enggang untuk Kalimantan Barat itu.


Diskusi Publik tersebut digelar berkaitan pameran tunggal fotografer Lukas B Wijanarko yang didukung oleh media partner seperti Radio Sonora, LKBN ANTARA, Harian Borneo Tribune, dan Ruai TV. Pameran berlangsung pada 3 September - 4 Oktober, dibuka oleh Anggota DPR RI Akil Mochtar di hotel Gajah Mada Pontianak.

Rabu, 19 September 2007

Selasa, 18 September 2007

PERDA TRAFFICKING, JAWABAN ATAS SOLUSI PERDAGANGAN ORANG DI KALBAR?

Oleh: Nurul Hayat.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, Kamis, 26 Juli, mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Perda hasil usul inisiatif DPRD itu, diharapkan menjadi jawaban atas pencarian solusi kasus trafficking yang setiap tahun semakin bertambah.

Civic Education Budget Transparansi and Advocasi (CiBa) beberapa waktu lalu, memaparkan hasil studinya terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kalbar dalam Pemberantasan Perdagangan Orang. CiBa memaparkan kumpulan penemuan kasus dari beberapa lembaga.

Di antaranya dari International Organization for Migration (IOM). Lembaga tersebut mengungkapkan kasus perdagangan orang, perempuan dan anak yang terjadi di Kalbar periode Juni 2005-Oktober 2006 sebanyak 1.231 kasus, dimana prosentase korban terbesar 80,89 persen berasal dari daerah itu sendiri.

Data lain, berasal dari shelter Aisyiyah Kalbar. Shelter itu mencatat dari Juni 2005-Desember 2006, terdapat 237 korban, terdiri dari 177 orang dewasa dan 60 orang anak-anak dari berbagai provinsi di Indonesia. Sementara data dari Kepolisian Daerah Kalbar, terdapat 21 kasus pada tahun 2005 dan 35 kasus tahun 2006. Meliputi kasus penipuan, pemalsuan surat-surat, perkosaan, mempekerjakan anak di bawah umur, komersialisasi perempuan untuk industri seks, dan lainnya.

Ini hanyalah sebagian kecil dari hasil pengumpulan data yang dilakukan CiBa. Lembaga tersebut juga mencatat data dari Pengadilan Negeri Pontianak, dimana pada tahun 2004 terdapat satu kasus, dan tahun 2006 terdapat 11 kasus. Sementara data dari Kejaksaan Negeri Pontianak, pada 2003 dan 2005 hanya satu kasus, tahun 2004 terdapat dua kasus, dan 2006 terdapat 14 kasus.

Sedangkan data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang dikutip dari liputan media lokal pada tahun 2005 ditemukan 18 kasus, 2006 ada 25 kasus dan hingga Maret 2007 baru ditemukan 1 kasus. Adapun jenis kasus, meliputi, penculikan, penjualan bayi, penjualan perempuan untuk pelacuran, dan penjualan amoy --sebutan bagi perempuan Tionghoa-- untuk pengantin pesanan.

Data dari rumah sakit Dr Soedarso Pontianak, pada tahun 2005-2006 terdapat 17 kasus, dua kasus lain terjadi di tahun 2007.

Sementara ANTARA mencatat, pada tahun 2007 ini telah ada dua perempuan yang melapor ke polisi dalam kasus pengantin pesanan tujuan Taiwan.

Berbagai harapan kemudian muncul, menyusul disahkannya Raperda trafficking itu. Hendaknya keberadaan dan penerapan perda benar-benar dapat mencegah dan memberantas perdagangan orang, terutama perempuan dan anak yang menempatkan Kalbar pada urut ketiga, setelah Jawa Timur dan Jawa Barat.

Harapan itu seperti yang disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar Kalbar, Uray Darmansyah, saat membacakan pendapat akhir fraksinya pada menit-menit menjelang pengesahan raperda.

Anggota Dewan itu menyatakan, pembuatan perda melalui usul inisiatif DPRD, diharapkan berguna untuk memberikan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang. Sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi korban, menjadi persoalan yang sangat mendesak. Ini mengingat persoalan perdagangan perempuan dan anak telah menjadi karakteristik daerah Kalbar.

Perdagangan perempuan dan anak, menurutnya merupakan salah satu bentuk kejahatan dunia yang dewasa ini marak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia menempati peringkat ketiga terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Hal itu tertuang dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Commussion On Asia Pasific (ASCAP) dalam Trafficking in Report, Juli 2001.

Ia menyatakan, perempuan dan anak merupakan bagian dari pilar dan obyek pembangunan berkelanjutan, secara kodrat berada pada posisi lemah. Banyak pihak ingin memanfaatkan kelemahan itu dengan mengeksploitasi dalam berbagai bentuk. Sehingga perlu proteksi yang lebih konkrit, baik melalui aturan perundang-undangan maupun pengamanan, atas tindakan kejahatan terhadap perempuan dan anak.

Sementara anggota Fraksi PDIP, Thamrin, menyatakan perdagangan orang merupakan kejahatan lintas daerah dan negara. Untuk mengatasi persoalan itu, perlu dibangun kebersamaan. "Adanya perda diharapkan dapat mencegah praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan anggota fraksi PPP, H Zainal Abidin AZ. Menurut anggota DPRD itu, perdagangan orang merupakan perbudakan manusia dalam bentuk modern. Bukti empiris menunjukkan bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling banyak menjadi korban.

Adanya perda trafficking, ia mengharapkan agar dapat menjadi "payung hukum" dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus yang terjadi di wilayah Kalbar. Apalagi lahirnya perda mengacu kepada Undang-undang No 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Jalur perdagangan

Praktek perdagangan orang yang terjadi di Kalbar, umumnya melalui jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri semisal Malaysia dan pengantin pesanan tujuan Taiwan, Hongkong dan Korea. Korban perdagangan orang itu, sebagian besar adalah para perempuan dan anak, sehingga mafhum jika Perda trafficking Kalbar itu, baik judul maupun isinya menekankan para korban perempuan dan anak.

Faktor utama penyebab terjadinya trafficking, menurut anggota Komisi B DPRD Kalbar, Asmaniar, meliputi persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, pengangguran (kurangnya lapangan pekerjaan) dan minimnya akses informasi.

Para korban umumnya merupakan warga Kalbar yang berasal dari daerah kabupaten/kota yang mengalami persoalan-persoalan di atas. Para korban, umumnya merupakan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja secara tidak resmi di negara jiran. Mereka masuk ke Malaysia melalui "jasa" para calo yang menjual mereka kepada cukong atau majikan di negara tersebut.

Karena tidak memiliki dokumen resmi, majikan memperlakukan mereka dengan semena-mena, semisal menganiaya secara fisik dan psikis dengan tidak membayarkan gaji dan memukuli, bahkan memperkosa.

Bentuk trafficking lainnya, melalui jalur pengantin pesanan yang sudah berlangsung sejak 1980 dengan pelaku pengantin pesanan, umumnya mereka gadis asal Kota Singkawang. "Alasan ekonomi yang dikait-kaitkan dengan budaya, menjadi pemicu maraknya pola pengantin pesanan di Singkawang," kata Agustine Lumangkun, dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjungpura yang juga masuk tim penyusunan Perda Trafficking Kalbar tersebut.

Sampai saat ini, baru dua korban pengantin pesanan yang berani melaporkan kasus yang mereka alami ke lembaga bantuan hukum. "Rasa malu keluarga dan korban menjadi alasan tidak terungkapnya perdagangan orang melalui jalur pengantin pesanan," kata Asmaniar lagi.

Sosialisasi

Penetapan Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak Kalbar, hendaknya segera disusul dengan upaya penyosialisasian kepada seluruh lapisan masyarakat melalui jejaring yang ada.

Anggota tim penyusun naskah Raperda trafficking Kalbar, Kunthi Tridewiyanti menyatakan, sosialisasi berjenjang dimulai dari jajaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat kecamatan, kelurahan atau desa guna mencegah masih maraknya perdagangan orang karena ulah aparat pemerintah.

Munculnya kasus perdagangan orang, terutama perempuan dan anak di Kalbar, menurutnya, tidak terlepas dari "jasa" aparat di daerah yang menggampangkan dalam pengurusan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk (KTP). "Mencuri" (menambahkan) umur atau menjadi warga desa itu padahal merupakan pendatang, merupakan praktek yang biasa terjadi dalam pembuatan KTP.

Karena itu, Kunthi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia, mengingatkan agar Pemerintah Provinsi Kalbar secepatnya melakukan sosialisasi.

Menurutnya, sosialisasi berjenjang dilakukan guna mengetahui komitmen dari pemerintah kabupaten/kota terhadap masalah perdagangan orang yang terjadi di daerahnya. Selain berjenjang kepada pemerintah daerah, sosialisasi juga mesti dilakukan pada lingkungan keluarga. Melalui bantuan kelompok pengajian, perkumpulan ibu-ibu, dll.

Hal itu seperti yang telah dilakukan di Sulawesi Utara. Sosialisasi perda serupa dilaksanakan di gereja-gereja dan rumah ibadah lainnya.

Permasalahan perdagangan perempuan dan anak, menurutnya, merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Sehingga perlu kerjasama semua pihak dan perhatian yang khusus. Semisal di Sumatera Utara, Perda serupa telah berjalan optimal karena pemerintah setempat cukup respon. Telah dibangun kerjasama parapihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berperan hingga ke luar negeri mengatasi masalah perdagangan orang tersebut.

Sementara menurut Asmaniar, perda tersebut merupakan landasan mempertegas dalam melakukan tindakan pencegahan. Namun yang penting baginya, perda hendaknya dapat diimplementasikan secara utuh. Bukan hanya menjadi produk hukum yang "mandul". Upaya pencegah tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Tetapi mesti melalui kerjasama dan jejaring secara strategis.

"Diperlukan sosialisasi intensif hingga level bawah dan melibatkan lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan profesi yang tersebar di kabupaten/kota sebagai ujung tombak," jelasnya.

Sekretaris Daerah Kalbar, Syakirman, berjanji menyusul pengesahan Raperda Trafficking, akan membentuk tim sosialisasi. "Sosialisasi dimulai pada instansi terkait di lingkungan Pemprov Kalbar. Akan dibentuk tim untuk turun ke kabupaten/kota," katanya.

Baik Kunthi, Asmaniar maupun Syakirman sama-sama sepakat, tanpa sosialisasi maka keberadaan Perda Trafficking itu hanya akan menjadi produk hukum "mandul". Semua tentu berharap, perdagangan orang hendaknya tidak lagi terjadi.

Perempuan dan anak Indonesia bukanlah "produk ekspor" untuk negara-negara tetangga.

Foto Title: Pengrajin Songket Sambas By: Nurul Hayat

Tentang Cori Hari Ini

Selasa, 18/9 – Hari Keenam puasa, tak terasa, setiap hari bangun sahur. Ibu dan ayah menyambut dan mengajak sahur. Jam 03.30 WIB, waktu yang ideal untuk mengisi perut, menyimpan cadangan makanan, sebelum berpuasa (menahan haus dan lapar) selama 13 jam lamanya.

Aku pun tak ketinggalan. Bangun tidur, walau mata masih ngantuk dan perih ketika dibuka, tapi waktu sahur telah tiba.

Wah, ayah ternyata baru pulang kerja! Iya keasyikan kerja, sampai-sampai pulangnya pun sangat larut. Tapi ibu bilang, ayah keasyikan ngisi blog-nya... “sama dunk,” Cori juga gitu nih ayah.

Setelah sahur, kami tidur sebentar. Jam 06.30 WIB, aku bangun, ternyata ibu juga sudah bangun. Ayah masih mendengkur... krock...krock...krock... (apa gitu ya bunyinya?) Maklumlah, aku baru 7 bulan, masih belajar mengenal bunyi-bunyian. Aku baru tahu namaku, Cori, karena hampir setiap hari selalu disapa begitu. “Cooooriii...Cooooriii...” begitu biasa ibu memanggilku. Atau, “Coriii...Coriii..., yach, mirip-mirip gitu lah.

Eit...tau-tau ibu mengambil kamera dari ranselnya. Wah... ternyata aku akan dipotret. Sudah lama sekali aku tidak dipotret. Seingatku, pernah dipotret dua kali, saat sehari lahir dan saat usiaku tiga bulan. Sekarang aku sudah tujuh bulan. Beratku pun bertambah.

Tentu, penampilanku sudah berubah. Tapi, apakah “peang” ku masih ada? Mudah-mudahan sudah tak tampak. Oya, rambut ku masih sangat tipis. Aku malu juga nih dipotret, karena penampilanku belum begitu cantik.

Ibu mengabadikanku dengan berbagai macam gaya yang aku perlihatkan. Ibu juga meletakkan selendang yang biasanya jadi kain gendongan nenek ke kepala ku. Jadi mirip petani di sawah yang selalu melindungi kulit dan wajahnya dari terik matahari.

Selesai jepret sana sini. Aku pun mandi. Inilah kegiatan yang paling aku senangi. Mandi di baskom besar, dengan sedikit air hangat. Oya, setiap pagi secara bergantian, ayi, nenek, dan ibu memasakkan air mandiku. Di sebagian besar keluarga kami, memang terbiasa mandi pagi dengan air hangat. Selain aku, ibu dan ayi juga mandi air hangat. Kalau ayah, kadang-kadang saja. Kalau badannya sedang meriang kena AC.

Kalau sedang mandi, aku sekarang suka lompat-lompat di baskom. Nenek kelelahan memegangiku. Ibu sibuk menggosokkan badanku dengan sabun mandi cair. Hemmm haruuum baunya.

Selesai mandi dan berpakaian. Ibu kembali mengambil kamera. Ibu memotretku dengan berbagai macam gaya lagi. Nah, ayah pun ikut serta. Ayah baru bangun, padahal hari sudah terang benderang. Sudah pukul 08.15 WIB. Ayah memotret aku dan ibu. Maka jadilah foto yang ada di blog-ku ini.

Ooo... ibu dan ayah sedang siap-siap untuk ke kantor. Aku dan nenek mengantar mereka pergi. Lambaian tangan ku yang masih kaku, melepas kepergian ibu dan ayah. Dari jam 09.30 WIB – 19.00 WIB, aku hanya di rumah saja bersama nenek dan ayi. Sepi dunk.....

Minggu, 16 September 2007

PEREMPUAN KORBAN KONFLIK, HARUS BERJUANG MEMPERTAHANKAN HIDUP

Oleh: Nurul Hayat, Pontianak, 11/9 (ANTARA) -
"Hidup ini susah. Bagaimana nanti ya... kalau di akhirat, apakah juga menjadi lebih susah," kata Sukadimah, perempuan paruh baya, korban kerusuhan sosial 1996-1997 di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.

Sukadimah, tidak mengetahui usianya telah "berkepala" berapa. Namun dari guratan keriput yang menyebar di wajahnya, perempuan itu terlihat seperti "memegang" beban berat. "Orang Madura dek.., mana pernah peduli dengan usia sudah berapa," katanya, seolah mengingatkan hidup seseorang bukan berdasarkan usianya.

"Allah...Allah... susahnya hidup. Ini mau puasa, tapi tidak ada uang," katanya, dengan tangan mengusap kedua pipinya, sambil duduk di tangga teras depan kantor Gubernur Kalbar, di Jl Ahmad Yani, Pontianak.

Perempuan beranak lima itu, hanyalah salah satu dari sekian ratusan lainnya yang mengikuti aksi unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin (10/9).

Selain Sukadimah, masih ada Misura, yang mengaku berusia 40-an tahun. Misura memiliki tujuh anak, dua di antaranya sudah berumah tangga. Sehari-hari hidupnya bekerja sebagai pemecah batu. "Sejak tinggal di Peniraman (Kabupaten Pontianak.red) 10 tahun ini, saya jadi tukang batu," kata perempuan bertubuh kecil dan berkerudung itu.

Menurutnya, kebanyakan perempuan korban kerusuhan Sanggau Ledo, harus kerja keras banting tulang membantu suami, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia memilih menjadi tukang batu atau penetak batu, karena lokasi tempat tinggalnya -- pinggir jalan lintas Kota Pontianak menuju ke kabupaten/kota lainnya -- memang terkenal sebagai penghasil batu untuk bahan bangunan dan pembuatan jalan.

"Kerja batu berat. Kalau puasa sanggup kerja, saya kerja. Tapi kalau tak kuat, ya libur saja. Itu artinya tidak ada penghasilan," katanya.

Dalam empat hari kerja, Misura dan suami bisa mengumpulkan pecahan batu untuk mengisi satu truk. Batu-batu itu dijual kepada penampung warga setempat Rp50.000/truk. "Itu tak cukup untuk makan. Syukurnya anak-anak juga membantu mengumpulkan batu-batu," kata warga Madura dari Salatiga, Kabupaten Bengkayang itu.

Saat masih di Salatiga (Kabupaten Bengkayang), Misura dan suami menjadi penoreh karet milik tuan tanah setempat. Hasilnya memang tidak besar. Dalam satu hari bisa dapat 5 kilogram karet yang upahnya dibayarkan Rp500/kg. "Itu penghasilan 10 tahun lalu. Tetapi cukup untuk hidup kami sekeluarga," katanya.

Namun sejak mengungsi ke Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, dia mesti menjadi penetak batu. "Diam (tinggal) di Peniraman tidak dapat apa-apa," katanya.
Sementara Rosita, 25, perempuan lainnya, memilih hanya mengurusi persoalan rumah tangga dan mengasuh dua anak yang masih berusia 4 dan 2,5 tahun. "Saya tidak bekerja. Suami saja yang kadang-kadang jadi penebang kayu atau tukang batu," kata perempuan kelahiran Terohok, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu.

Rosita, 10 tahun lalu masih remaja. Ikut mengungsi ke daerah Motong Tinggi, Kecamatan Anjungan, Kabupaten Pontianak, bersama keluarga besarnya.

Ia bertemu jodoh teman sekampung asal Terohok, Mandor. Sambil menahan sakit di perut, perempuan itu menyatakan rata-rata para ibu yang ikut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, sehari-harinya bekerja, sebagai tukang batu.

Lagi-lagi menjadi tukang batu...
Begitu kerasnya hidup yang mesti dijalani para perempuan korban kerusuhan itu. Sehingga harus merelakan tangan dan kaki menjadi kasar dan "kapalan" (berbuku-buku kasar.red), karena memecahkan batu-batu di perbukitan tempat tinggal mereka saat ini, demi sesuap nasi. Dan tentu saja, siap mati terkena longsoran reruntuhan tanah dan batu dari bukit yang rusak.

Mana perhatiannya?
Warga dari pengungsian Motong Tinggi mendatangi DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, guna meminta ganti rugi aset-aset mereka yang telah ditinggalkan dan mengharapkan perlindungan hukum.

Selain itu juga meminta disediakannya pemukiman yang layak beserta fasilitas, menuntut jatah hidup selama 10 tahun yang belum diberikan, dan menuntut penanganan yang lebih serius oleh Pemprov Kalbar agar permasalahan tersebut secepatnya bisa diselesaikan.

Koordinator Forum Peduli Pengungsi Pasca Konflik Sosial, Junaidi (39), sudah 10 tahun menunggu, hingga kini belum ada realisasi dari Pemprov Kalbar.

Sebagai warga negara Indonesia, menurutnya, semua memiliki hak yang sama. Namun yang terjadi selama 10 tahun, mereka harus menderita di barak pengungsian Motong Tinggi tanpa ada kejelasan. Para pengunjuk rasa itu kecewa, mereka seperti diperlakukan sebagai "anak tiri" oleh orang tuanya.

Mereka menyatakan mengharapkan bantuan yang sama yang pernah diberikan kepada para pengungsi korban kerusuhan Sambas, 1999 lalu. "Kami tak dapat rumah. Tak dapat uang atau pun bantuan makanan. Mengapa kami tidak bisa mendapatkannya," kata seorang perempuan kurus dengan bayi dalam gendongan.

Warga yang berunjuk rasa itu, menyatakan diperlakukan tidak adil. Karena pengungsi korban kerusuhan Sambas, sudah mengikuti relokasi -- mendapatkan rumah, tanah dan jatah hidup -- di sejumlah kawasan dalam wilayah Kabupaten Pontianak.

Aksi kali ini, untuk ketigakalinya mereka lakukan. Pada Juni lalu, Asisten I Sekretaris Daerah Kalbar, Ignatius Lyong menyatakan Pemprov akan segera menyelesaikan permasalahan para korban konflik bernuansa SARA 1996-1997 itu.

Mereka ingin bertemu Gubernur Usman Ja'far dan Sekretaris Daerah Syakirman, untuk menanyakan secara langsung nasib mereka selanjutnya. Namun kedua orang tersebut sedang tidak berada di tempat.

"Gubernur kabarnya sudah membentuk tim penanganan pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo. Tetapi mana perhatiannya?" kata Junaidi saat berorasi di teras depan kantor Gubernur Kalbar.
Sekretaris Tim Penanganan Pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo, Totot WD saat berdialog dengan perwakilan warga tersebut, mengakui tim sudah dibentuk oleh Gubernur Kalbar dengan No. 482 tahun 2007 sejak Juni lalu. Tetapi itu baru sekedar pembentukan tim kerja yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah termasuk unsur Polda Kalbar.

"Hingga kini dana untuk pemberian Jadup dan lain sebagainya masih belum ada, sehingga kami masih belum bisa bekerja. Saya minta para korban kerusuhan bisa bersabar," katanya.
Akibat kerusuhan dua etnis pada 1996-1997, sekitar 1.770 kepala keluarga atau sekitar 9.000 warga yang terpaksa mengungsi di dua barak yaitu barak Galang dan Motong Tinggi, yang terletak di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Dalam aksi unjuk rasa ke DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, selain para laki-laki dan perempuan dewasa, juga tampak anak-anak berusia di bawah 10 tahun. "Anak-anak kami ikut ke sini, karena mereka tidak bersekolah," kata Misura.

Foto by: National Geographic

Kamis, 13 September 2007

WWF: PEMERINTAH MULAI PERHATIAN PRINSIP DAN KRITERIA RSPO

Pontianak, 13/9 (ANTARA) - World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia di Kalimantan Barat menyatakan Prinsip dan Kriteria "Rountable on Sustainable Palm Oil" (P n C RSPO) kini mulai mendapat perhatian dari pemerintah sebagai prinsip yang paling ideal untuk mencapai kondisi lestari dari industri kelapa sawit.

Hal itu ditunjukkan dengan keikutsertaan lembaga pemerintah seperti Dinas Perkebunan provinsi, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Barat dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, dalam sosialisasi dan promosi P n C RSPO di Pontianak 11 September , kata Haryono, Forest Conversion Programe Officer WWF Kalimantan Barat, di Pontianak, Kamis.

Haryono menyatakan, P n C RSPO saat ini diyakini merupakan prinsip paling ideal dengan delapan prinsip dan 39 indikator, yang meliputi dimensi hukum, tanggung jawab lingkungan atau ekologi, tenaga kerja dan sosial, dan komitmen ekonomi jangka panjang, untuk mencapai kondisi lestari dari industri kelapa sawit.

Menurut dia, beberapa lembaga yang berkaitan langsung dengan produksi minyak sawit pada tahun 2002 berupaya dapat mempromosikan pengembangan dan penggunaan "sustainable palm oil" melalui kerja sama dalam mata rantai pasok (supply chain) dan dialog terbuka dengan pemangku kepentingan dalam sebuah wadah RSPO.

Upaya itu dilatarbelakangi oleh banyaknya persoalan di dalam industri kelapa sawit. Persoalan itu, mulai dari rendahnya produktivitas kebun, isu konversi hutan, kebakaran lahan, konflik dengan satwa liar dan ketidakadilan tenaga kerja dan masyarakat lokal, kampanye anti sawit oleh beberapa (LSM sampai penolakan pasar beberapa negara Eropa pada produk CPO Indonesia.

Lembaga-lembaga yang menjadi inisiator untuk minyak sawit lestari/sustainable palm oil (SPO) adalah Aarthus United UK, Golden Hope Plantations Berhad, Migros, Sainsbury, Unilever dan WWF.

Selain itu, pada tahun 2004, P n C RSPO mulai dibahas dan pada tahun 2005, P n C RSPO telah diadopsi oleh anggota dan sampai tahun 2007 ini disepakati sebagai tenggat percobaan dari P n C yang dihasilkan.

P n C RSPO sebenarnya sebagian telah sejalan dengan kebijakan pemerintah baik itu undang-undang, keputusan menteri ataupun analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

P n C RSPO telah menggabungkan prinsip-prinsip hukum, transparansi usaha, pengunaan praktek terbaik pada pengelolaan, aspek perencanaan usaha, tanggung jawab terhadap lingkungan dan konservasi sumber daya dan keanekaragaman hayati, dan aspek sosial dan ketenagakerjaan.

Sosialisasi P n C RSPO yang baru lalu dan menyertakan wakil pemerintah daerah Kalbar dariDinas perkebunan dan lembaga penelitian PPKS Medan, sebagai pemangku kepentingan utama kemajuan industri kelapa sawit di Indonesia.

"Semua pihak yang terlibat dalam sosialisasi, berupaya mendukung dengan turut mempromosikan paket-paket teknologi terbaik yang mendukung aspek teknis di dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit," katanya.

Keanggotaan RSPO, menurut ia, berasal dari bidang usaha yang terkait dengan kelapa sawit. Klasifikasi anggota biasa berasal dari; perkebunan kelapa sawit, pabrikan minyak sawit atau pedagang, perusahaan consumer goods, pedagang eceran (retailer), bank dan investor, environmental/nature conservation NGO dan social/ developmental NGO.

Sementara klasifikasi anggota afiliasi dapat berasal dari semua pihak yang tidak terlibat dalam bisnis diatas namun memiliki ketertarikan pada P n C RSPO, semisal universitas, lembaga riset, donor ataupun sponsor.

Namun ia menambahkan, sayangnya keanggotaan dari Indonesia masih terbatas sejumlah 19 anggota dan ironinya tidak satu pun keanggotaan tersebut yang berasal lembaga riset pemerintah, maupun universitas, BUMN perkebunan.

"Kondisi ini dapat terobati dengan turut berperan aktif dalam mensosialisasikan P n C RSPO yang telah dihasilkan," katanya.


Foto by : National Geographic