Jumat, 29 Juni 2007

SEBANYAK 12 KELOMPOK PENAMBANG EMAS BEROPERASI DI MAKAM JUANG MANDOR

Pontianak, 29/6 (ANTARA) - Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Barat, Tri Budiarto menyatakan saat ini terdapat sebanyak 12 kelompok penambang emas tanpa izin yang beroperasi di kawasan konservasi Makam Juang Mandor, Kabupaten Landak.

"Setiap kelompok beranggota 8 - 12 orang. Dalam seharinya, setiap kelompok memproduksi 7 gram emas dan dibantu mesin dompeng," kata Tri Budiarto di Pontianak, Jumat.

Ia mengatakan, aktivitas PETI mulai merambah kompleks Makam Juang Mandor diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1980an. Namun dalam sejarahnya, PETI di Kalbar sudah ada sejak abad 18 secara kecil-kecilan dari sungai ke sungai oleh orang Tionghoa. Komunitas penambangan terbesarnya di Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang.

Dinas Pertambangan, menurut Tri, pernah membagikan alat penghisap merkuri di kawasan PETI Mandor, namun hingga kini tidak diketahui secara pasti apakah alat yang disebut mercury retor tersebut dipergunakan oleh masyarakat penambang. Ia menduga alat itu tidak berguna, karena saat dibagikan kepada penambang tidak disertai dengan penjelasan cara penggunaan alat tersebut, sehingga penambang enggan memakainya.

Kompleks Makam Juang Mandor merupakan kawasan konservasi yang pengawasannya di bawah kewenangan Departemen Kehutanan RI, melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Sementara itu, seorang Peneliti Sejarah Kalbar, Sudarto, 73, mengatakan, penambangan emas di Kalbar sudah berlangsung sejak 1830 dengan lokasi Mandor dan Monterado. Ia mengatakan asal mula penambangan emas dilakukan oleh warga Tionghoa atas seizin Sultan Pontianak.
Mengenai kaitannya dengan lokasi penambangan emas yang berada di dalam kompleks Makam Juang Mandor, menurut Sudarto aktivitas itu lebih dahulu muncul dan baru disusul adanya pembangunan kompleks makam.

Adalah Gubernur Kalbar, Kadarusno, pada tahun 1977 membangun kompleks makam karena mendapat laporan dari masyarakat mengenai adanya penemuan ratusan tulang tengkorak manusia yang menjadi korban pembantaian tentara Jepang pada kurun waktu antara 1942-1944 di bekas lokasi penambangan emas.

Diperkirakan tulang itu muncul karena pasir yang tergerus setelah adanya aktivitas penambangan. Tulang kemudian dikumpulkan dan dibangunlah kompleks pemakaman massal dengan 10 lokasi terpisah. "Jadi keberadaan penambangan emas sudah lebih dahulu daripada kompleks makam itu," jelasnya.

Ia mengatakan, penambangan emas terjadi secara alamiah karena Kalbar dikenal sebagai daerah penghasil bahan galian tersebut. Para penambang tidak dapat dikatakan sebagai pihak yang tidak menghargai nilai sejarah yang ada. Karena mereka merupakan para pekerja (buruh) yang tidak mengerti di lokasi penambangan itu terdapat situs.

Menurutnya lagi, Makam Juang Mandor yang dibangun sejak tahun 1977, dalam perjalanan waktu yang ada tidak mengalami perubahan berarti. Gubernur Parjoko yang memimpin pemerintahan di Kalbar tahun 1988-1993 pernah menyatakan kepadanya agar membuat buku mengenai peristiwa Mandor sehingga generasi penerus bisa mengetahui sejarah itu.

Sudarto yang saat itu masih menjadi guru pada SMA Santo Paulus Pontianak, menyarankan Gubernur Parjoko agar menunda rencana itu karena belum banyak informasi yang bisa menjadi literatur untuk menuliskan sejarah tersebut dalam sebuah buku.

"Saat ini saya dan teman-teman masih mengumpulkan arsip yang ada. Arsip dicari hingga ke Belanda. Karena di sini tidak ada arsip dan menjadi kebiasaan kita, arsip penting yang ada malah 'dikilo' (dijual perkilogram-red)," kata Sudarto yang juga menjadi Konsultan Pendidikan di Dinas Pendidikan Kalbar.

Tidak ada komentar: