Minggu, 17 Juni 2007

BUDAYA DAYAK BELUM MEWARNAI PERFILMAN NASIONAL


Pontianak, 21/5 (ANTARA) - Produser Film, Jeremias Nyangoen, Senin, mengatakan budaya Dayak belum ikut mewarnai perfilman tanah air, sehingga cukup sulit menemukan film dokumenter atau cerita bioskop yang berseting budaya Dayak di Indonesia.

Sepanjang Indonesia merdeka hingga saat ini, diperkirakan baru ada satu film bioskop yang pengambilan gambarnya di Kalimantan yakni "Jeram-jeram Cinta". Namun isinya pun perlu ditilik kembali apakah sudah cukup kuat mengangkat budaya Dayak, kata Jeremias Nyangoen, dalam Dialog Budaya Dayak di kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Ia mengatakan, tak berbeda jauh dengan film dokumenter atau pun sinetron dalam tayangan televisi nasional, dapat dikatakan belum ada tema-tema budaya Dayak.

Hal itu bisa terjadi karena beberapa alasan, di antaranya jarangnya film berseting budaya Dayak diproduksi karena biaya produksi yang mahal, sehingga dianggap tidak begitu penting karena bukan kebutuhan primer.

Sulitnya birokrasi untuk meminjam atau menonton film tersebut, selain menontonnya di televisi dengan jumlah tayangan yang sangat terbatas. Serta diperlukan biaya dan waktu khusus untuk melakukan riset dan pengumpulan data dari para peneliti seni asing dari Perancis, Belanda, Selandia Baru, Amerika dan Jerman.

Produser yang juga aktor itu menyatakan, lazimnya sebagai pekerja seni pembuat film, ketika mendengar kata Dayak, maka akan tergambar hutan belantara, anak sungai yang panjang berliku, hujan dan matahari, rumah panjang, laki-laki dan perempuan yang menghias diri dengan tato.

"Sesuatu yang natural dan eksotis seperti suku Indian yang kita lihat di buku-buku atau film Hollywood," katanya. Meski pada kenyataannya tidak semua tempat di Kalimantan seperti itu lagi.

Menurut ia lagi, kehadiran film Indonesia di tengah masyarakat tidak saja diartikan sebagai lahirnya produk seni budaya, namun dapat pula dilihat sebagai produk ekonomi, karena menyerap tenaga kerja dan menjawab tantangan global terhadap perfilman dunia.

Film nasional, menurutnya, tidak saja diproduksi di Jakarta. Tetapi kini juga sudah menyebar ke daerah. Karena pemerintah daerah menyadari film tidak saja dilihat sebagai sarana pendidikan, komunikasi dan hiburan, namun juga menjadi salah satu unsur kekuatan ekonomi.

"Dan lebih jauh lagi, hal itu untuk membuktikan eksistensi pemda yang bermanfaat bagi masyarakat," imbuhnya.

Bali, Lombok, Toraja, Riau, Gorontalo, Papua, merupakan nama daerah yang sudah terlebih dahulu melihat bahwa produksi film sangat penting. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan daerah lain, khususnya Kalimantan?

Dalam dialog yang dihadiri peserta Gelar Budaya Dayak se Kalimantan itu, Jeremias mengatakan hendaknya pemerintah daerah di Kalimantan menyimpan dokumen yang ada dengan rapi dan aman, membuat film profil daerah film dokumenter dan film cerita bioskop yang bermutu dari tanah Kalimantan.
Sehingga ada rekaman sejarah dari waktu ke waktu atas perjalanan kehidupan anak bangsa khususnya dari suku Dayak.

Masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu agar semua dapat terwujud. Sehingga akan semakin banyak film Indonesia yang lahir tidak saja berseting budaya Jawa, Bali, Lombok, Gorontalo, atau pun Papua, tetapi juga Kalimantan khususnya mengangkat budaya Dayak. "Sehingga budaya Dayak juga ikut mewarnai perfilman nasional," katanya.

Foto Title: Robok-robok by: Nurul Hayat

Tidak ada komentar: