Pontianak, 28/6 (ANTARA) - Berbagai pihak di Kalimantan Barat menyatakan peringatan Hari Berkabung Daerah pada setiap 28 Juni guna mengenang kekejaman Jepang di daerah tersebut yang membunuh sekitar 21.037 orang hanya sebagai simbol, yang terpenting adalah adanya pengakuan Pemerintah Jepang baik secara moril maupun politik atas pembantaian yang pernah terjadi.
"Ini hanya simbol saja. Kita menunggu pengakuan Jepang atas peristiwa itu," kata salah satu Ketua Yayasan Bhakti Suci, Rudy Lesmana, saat ditemui seusai Upacara Peringatan Hari Berkabung Daerah di Makan Juang Mandor, Kabupaten Landak, Kamis.Menurut ia, pengakuan itu menjadi penting bagi ahli waris korban pembunuhan yang dilakukan tentara Jepang pada sekitar tahun 1942-1944. Mereka yang dibunuh oleh Jepang, di antaranya adalah pejuang, tokoh masyarakat/agama, cendikiawan, dan wartawan, serta pengusaha.
Karena itu menyangkut pertanggungjawaban moril. Hal senada juga disampaikan Pemerhati Sejarah, Syafaruddin Usman, bahwa pengakuan secara moral dan politis merupakan permintaan yang layak disampaikan warga Kalbar saat ini. Ia memperkirakan 75 persen korban pembantaian merupakan warga Tionghoa.
Rudy Lesmana menambahkan, adanya peringatan HBD merupakan peringatan bagi semua bangsa di dunia agar jangan semena-mena dengan bangsa lain.
Sementara itu, Sekretaris Yayasan Bhakti Suci, Ateng Sanjaya, menyatakan, banyaknya korban yang gugur karena kejahatan tentara Jepang saat zaman kemerdakaan, merupakan simbol kesatuan antaretnis yang ada di Kalbar.
"Kita bisa mengetahui di sini, ada banyak etnis yang menjadi korban Jepang. Mereka dikubur pada satu tempat, bercampur menjadi satu dan tidak ada perbedaan. Itu merupakan simbol harmonisasi di antara suku bangsa yang ada," katanya.
Peringatan HBD Kalbar yang berlangsung di Makam Juang Mandor, dihadiri ribuan orang, termasuk keluarga para korban.
Seorang pengunjung makam, Lim Bak Jue, 68, sebanyak 8 anggota keluarganya yang terdiri dari dua paman dan enam saudara sepupu telah menjadi korban. Mereka itu terdiri dari Lim Hak Sio, Lim Keng Tie, Lim Bak Cui, Lim Bak Kim, Lim Bak Khim, Lim Bak Song, Lim Bak Chai, dan Lim Bak Huat.
Keluarga besar ini merupakan pengusaha Tionghoa di Kota Pontianak yang bertempat tinggal di jalan Kapuas Besar. Keluarga besarnya pemilik PT Lim Lang Hiang dengan bisnis meliputi pabrik es batu, perkebunan karet, dan bioskop "Excellent" (bioskop pertama yang berdiri di Pontianak).
Lim Bak Jue bersama cucu dari Lim Bak Kim, Lim Hiok alias Heryanto, 50, pada setiap tahunnya, baik diundang maupun tidak oleh pemerintah daerah selalu melakukan ziarah ke Makam Juang Mandor.
"Saat peristiwa itu, saya masih berusia 4 tahun. Sehingga belum tahu apa-apa. Tetapi telah mendengar cerita dari orang tua," kata Lim Bak Jue.
Senada dengan lainnya, ia pun menilai apa yang ada di Makam Juang Mandor
saat ini hanya sebagai simbol yang untuk dikenang tetapi tidak untuk diratapi. Peristiwa masa lalu yang buruk, hendaknya dilupakan dan menjadi pelajaran.
Dalam peringatan HBD, Gubernur Kalbar Usman Ja'far memimpin upacara yang digelar di depan pintu masuk makam. Rombongan gubernur juga berkeliling ke kompleks makam yang tersebar di 10 lokasi dengan ukuran makam 10 meter dan lebar 4 meter.
Sebanyak 48 foto korban dipajang di pintu masuk makam. Di antaranya, Sultan Pontianak, Sultan Syarif Alkadri dan tiga anaknya, Pangeran Agung, Pangeran Adi Pati, dan Syarifah Maimunah Alkadrie, Pangeran Mempawah Muhammad Taufik, Panembahan Sintang Reden Abdul Bahry Danu Perdana, menantu Sultan Pontianak Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, juru tulis Swapraja, Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, Kepala Rumah Sakit Mempawah Dr Rubini dan Istri, dan sejumlah nama lain yang tercatat sebagai pedagang, wartawan, tokoh perempuan, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar