Rabu, 13 Juni 2007

KETIKA HARAPAN SEJAHTERA DARI PENGANTIN PESANAN GAGAL DIRAIH

Oleh Nurul Hayat

Tak selamanya harapan dan mimpi menjadi pengantin di negeri orang bisa diraih. Ada banyak kasus, mereka pulang dengan kekecewaan setelah menyadari pasangannya tidak sanggup memberikan nafkah lahir batin.

Siang itu, dua remaja terlihat berjalan-jalan di sebuah mall mewah di Kota Pontianak, Kalbar. Kulit mereka putih dan sama-sama berambut sebahu. Sementara di sudut lain, di tempat jajanan terlengkap dalam mall, dua perempuan tampak sedang serius berbicara.

Sekilas tidak ada hubungan di antara keempat orang tersebut. Namun, ternyata tidak begitu, baik dua remaja maupun dua perempuan itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka adalah korban pengantin pesanan dan aktivis perempuan yang peduli terhadap masalah tersebut.

"Kami membawa mereka berjalan-jalan agar hilang stres sehabis menjalani pemeriksaan polisi," kata salah satunya, Rosita Nengsih, SH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PEKA) Kalimantan Barat, Selasa petang.

Ia bersama aktivis perempuan Pontianak, Hairiah SH, saat ini terdaftar sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Kalimantan Barat.
Dua orang lainnya yang dimaksudkan Neneng, sapaan akrab Rosita Nengsih, adalah remaja berusia 17 tahun, yang cukup disebutkan inisial, yakni Al dan Af. Keduanya adalah korban pengantin pesanan tujuan Taiwan.

Siapa sangka, Al dan Af yang sedang berjalan-jalan keliling pertokoan dalam komplek mall itu merupakan korban pengantin pesanan? Apalagi selama ini kasus tersebut tidak pernah mengemuka di publik. Hanya menjadi rahasia umum, bahwa di Kalbar terdapat "budaya" kawin pesanan di komunitas Tionghoa di wilayah utaranya, meliputi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas dan Bengkayang.

Al, yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD, masih beruntung bila dibandingkan dengan Af, meski ia sempat bersekolah hingga kelas 3 SMP. Al lebih dahulu menyadari dirinya akan menderita jika tetap memutuskan menerima lamaran seorang warga Taiwan. Ia membatalkan lamaran yang diperantarai (mak coblang) itu saat masih berada di kampung halaman, Kota Singkawang.

Pembatalan lamaran ia lakukan, karena tidak siap menikah di usia muda. Meski sempat dicegah oleh orang tua yang terlanjur percaya dengan janji-janji mak comblang, pembatalan pun akhirnya tetap dilakukan.

Sebelumnya, keluarga Al dijanjikan mendapatkan uang Rp5 juta ditambah sejumlah uang lain untuk biaya pernikahan. Namun, rencana itu batal karena Al tidak bersedia. Keluarganya malah memutuskan melaporkan kasus tersebut ke polisi setempat pada 30 Februari lalu.

Sementara Af, mengaku sempat menetap sebulan di Taiwan. Karena tidak puas dengan kehidupan di negeri orang itu, ia pun meminta pulang. "Tunangan saya menyatakan, kalau tidak mau menikah mesti pilih calon lainnya," kata perempuan putih berambut sebahu itu.
Syukurnya, Af masih bernasib baik. Ia dapat pulang ke Indonesia, meski hanya diantar sampai ke bandara Taipei dan naik pesawat seorang diri menuju Jakarta.

Baru, setibanya di Jakarta, Af dijemput anak calonya dan melanjutkan perjalanan udara menuju Pontianak. Lantas, keluarganya pun memutuskan melaporkan masalah yang dihadapi Af kepada polisi pada 4 Juni lalu.

Saat ini kedua remaja itu menunggu proses hukum lanjut. Mereka didampingi LBH PEKA yang berkantor di Kota Singkawang. Selama menunggu proses hukum berjalan, mereka tinggal di shelter LBH PEKA dan mendapatkan pelatihan menjahit serta salon kecantikan.
Menanggapi adanya korban pengantin pesanan, Neneng, menyatakan kasus itu baru pertama kali mengemuka. Selama ini, meski ada korban, namun belum satu pun yang pernah melaporkan masalah yang mereka hadapi.

Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan enggan melaporkan kasus itu karena berbagai alasan. Di antaranya, perasaan malu dan ketidaktahuan terhadap persoalan hukum. Sementara faktor ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, menjadi alasan masih tingginya jumlah pengantin pesanan asal daerah di utara Kalbar itu.

"Pelaku pengantin pesanan umumnya berasal dari keluarga tidak mampu dan berpendidikan rendah. Mereka melihat ada pengantin yang sukses dan memberikan kekayaan kepada orang tua di kampung dan itulah yang menjadi contoh bagi yang lainnya," kata Neneng.

Namun, tidak selamanya mimpi indah dari perkawinan antarnegara itu berjalan lancar dan membawa kesejahteraan bagi keluarga dari pihak perempuan. Ada banyak kasus, korban menjadi stres dan lantas gila, atau mengalami penganiayaan fisik selama menjadi istri dari warga negara Taiwan.

Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan tidak pernah melapor. Baru tahun ini, LBH PEKA mendapatkan dua korban tersebut setelah ada laporan ke polisi.

Meski ditemukan adanya korban, namun tidak sedikit mereka yang menempuh proses itu berhasil dalam hidupnya. Bentuk keberhasilan itu bisa dilihat saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Sejumlah bank di Singkawang, menerima transferan dana dari warganya yang menetap di luar negeri (termasuk Taiwan) mencapai miliaran rupiah.

"Rumah-rumah orang tua yang memiliki anak sukses dari menikah dengan warga Taiwan, terlihat cantik dan dibangun permanen," katanya.

Menurut Neneng, data dari Pemerintah Kabupaten Sambas tahun 2007 menyebutkan sejak tahun 1980 hingga 2007, tercatat ada sekitar 27 ribu warga asal Sambas, Singkawang dan Bengkayang menetap di Taiwan karena perkawinan antarnegara tersebut. Jumlah itu meningkat 3.000 orang bila dibanding tahun 2000.

Kasus pengantin pesanan yang menimpa Al dan Af, sedianya akan diselesaikan melalui jalur hukum.

Saat ini penegak hukum baru dapat memproses pelaku pelanggaran Undang-undang Trafficking No. 21 tahun 2007 dengan ancaman hukuman seberat-beratnya 15 tahun penjara dan denda seberat-beratnya Rp300 juta. Dua pihak yang bisa tersangkut UU itu, calo atau mak comblang dan cangkau (bagian pemalsu dokumen).

Pria tua dan miskin

Aktivis perempuan, Hairiah, SH mengatakan, para pria asing yang mengawini perempuan-perempuan muda dari etnis Tionghoa itu, kebanyakan berusia tua dan hidup miskin di negaranya.

Biaya perkawinan yang mahal di Taiwan, mengakibatkan para "bujang lapuk" mencari jodoh dari negeri seberang, seperti Indonesia. Hanya dengan biaya beberapa puluh juta rupiah, seorang laki-laki Taiwan dapat memperistri perempuan muda dari Indonesia.

Singkawang, Sambas, dan Bengkayang, menjadi pilihan, karena dalam sejarahnya, telah banyak warga setempat yang bersedia menikah dengan warga Taiwan dan menetap di negara tersebut.

Menurut Neneng lagi, tingginya angka pengantin pesanan di Singkawang, karena kota yang dikenal sebagai kota amoy itu sebanyak 62 persen penduduknya warga Tionghoa. "Kebanyakan mereka yang memilih menikah cara itu, berasal dari keluarga miskin yang hidup di pinggiran kota Singkawang," ujarnya.

Sementara menurut Hairiah yang pernah berkunjung ke Taiwan selama dua pekan, laki-laki yang melakukan pernikahan dengan memesan pada mak comblang itu, biasanya berusia di atas 35 tahun. Penampilan fisik mereka tidak menarik. Ada di antaranya selalu mengunyah daun sirih, menandakan usia tua dan masih hidup di lingkungan tradisional. Mereka umumnya berpenghasilan kecil dan bekerja di perusahaan jasa pembersih.

Dari pengakuan Af, calon yang sedianya akan menikah dengan ia, saat diperkenalkan masih berusia 34 tahun. Namun setelah berada di Taiwan, pasangannya itu mengaku berusia 37 tahun. "Kepalanya sudah botak karena rambut yang menipis," katanya.

Af juga menyatakan, mak comblang menyebutkan tunangannya itu memiliki bisnis penjualan hio (stanggi) untuk sembahyang. Namun ketika bertemu di Taiwan, ternyata ia hanya memiliki usaha kecil hasil kerjasama dengan saudaranya.

Karena kenyataan yang tidak sesuai dengan janji itulah yang membuat Af membatalkan niat menikah dengan warga Taiwan.

Menurut Hairiah yang juga anggota Komnas HAM Perwakilan Kalbar, persoalan yang terjadi dalam pengantin pesanan, biasanya terkait dengan pelanggaran hak-hak. Selain janji yang tidak ditepati, pihak perempuan tidak jarang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dari hasil perkawinan itu. Si perempuan yang hidup jauh dari kampung halamannya, menjadi pembantu dalam rumah tangganya, yang di sana juga menetap di keluarga besar suami.

Ia mengatakan, diperlukan upaya sinergis dari pemerintah guna mengatasi permasalahan tersebut. Upaya itu tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) tetapi juga memerlukan peran serta pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan tersebut.

Upaya nyata yang dapat dilakukan guna menekan angka korban akibat pola pernikahan melalui pesanan itu adalah dengan mengeluarkan peringatan kepada masyarakat mengenai efek negatif dari adanya pernikahan antarnegara model tersebut.

Dampak negatif itu antara lain, baik perempuan maupun keluarganya tidak mengenal secara jelas identitas calon suami anak-anak mereka. Jaminan hidup berupa kekayaan atau harta benda berlimpah masih menimbulkan "tanda tanya besar", karena pada kenyataannya banyak kasus yang terjadi, pasangan suaminya adalah pria tua dan miskin.

"Kalau mendapatkan pasangan yang seperti itu, tentu saja mereka (korban) tidak akan mendapatkan kesejahteraan dalam hidup mereka," jelasnya.

Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Pontianak itu menyambut baik adanya upaya pihak keluarga korban memproses masalah tersebut melalui jalur hukum. "Saya menyambut positif upaya hukum yang mereka tempuh," katanya.

Upaya hukum seperti itu telah sekian lama ditunggu, namun tampaknya proses pembelajaran baru dapat tercapai dalam kurun waktu 27 tahun kemudian. Meskipun demikian, tentu saja belum ada kata terlambat.

Tidak ada komentar: