Minggu, 16 September 2007

PEREMPUAN KORBAN KONFLIK, HARUS BERJUANG MEMPERTAHANKAN HIDUP

Oleh: Nurul Hayat, Pontianak, 11/9 (ANTARA) -
"Hidup ini susah. Bagaimana nanti ya... kalau di akhirat, apakah juga menjadi lebih susah," kata Sukadimah, perempuan paruh baya, korban kerusuhan sosial 1996-1997 di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.

Sukadimah, tidak mengetahui usianya telah "berkepala" berapa. Namun dari guratan keriput yang menyebar di wajahnya, perempuan itu terlihat seperti "memegang" beban berat. "Orang Madura dek.., mana pernah peduli dengan usia sudah berapa," katanya, seolah mengingatkan hidup seseorang bukan berdasarkan usianya.

"Allah...Allah... susahnya hidup. Ini mau puasa, tapi tidak ada uang," katanya, dengan tangan mengusap kedua pipinya, sambil duduk di tangga teras depan kantor Gubernur Kalbar, di Jl Ahmad Yani, Pontianak.

Perempuan beranak lima itu, hanyalah salah satu dari sekian ratusan lainnya yang mengikuti aksi unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin (10/9).

Selain Sukadimah, masih ada Misura, yang mengaku berusia 40-an tahun. Misura memiliki tujuh anak, dua di antaranya sudah berumah tangga. Sehari-hari hidupnya bekerja sebagai pemecah batu. "Sejak tinggal di Peniraman (Kabupaten Pontianak.red) 10 tahun ini, saya jadi tukang batu," kata perempuan bertubuh kecil dan berkerudung itu.

Menurutnya, kebanyakan perempuan korban kerusuhan Sanggau Ledo, harus kerja keras banting tulang membantu suami, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia memilih menjadi tukang batu atau penetak batu, karena lokasi tempat tinggalnya -- pinggir jalan lintas Kota Pontianak menuju ke kabupaten/kota lainnya -- memang terkenal sebagai penghasil batu untuk bahan bangunan dan pembuatan jalan.

"Kerja batu berat. Kalau puasa sanggup kerja, saya kerja. Tapi kalau tak kuat, ya libur saja. Itu artinya tidak ada penghasilan," katanya.

Dalam empat hari kerja, Misura dan suami bisa mengumpulkan pecahan batu untuk mengisi satu truk. Batu-batu itu dijual kepada penampung warga setempat Rp50.000/truk. "Itu tak cukup untuk makan. Syukurnya anak-anak juga membantu mengumpulkan batu-batu," kata warga Madura dari Salatiga, Kabupaten Bengkayang itu.

Saat masih di Salatiga (Kabupaten Bengkayang), Misura dan suami menjadi penoreh karet milik tuan tanah setempat. Hasilnya memang tidak besar. Dalam satu hari bisa dapat 5 kilogram karet yang upahnya dibayarkan Rp500/kg. "Itu penghasilan 10 tahun lalu. Tetapi cukup untuk hidup kami sekeluarga," katanya.

Namun sejak mengungsi ke Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, dia mesti menjadi penetak batu. "Diam (tinggal) di Peniraman tidak dapat apa-apa," katanya.
Sementara Rosita, 25, perempuan lainnya, memilih hanya mengurusi persoalan rumah tangga dan mengasuh dua anak yang masih berusia 4 dan 2,5 tahun. "Saya tidak bekerja. Suami saja yang kadang-kadang jadi penebang kayu atau tukang batu," kata perempuan kelahiran Terohok, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu.

Rosita, 10 tahun lalu masih remaja. Ikut mengungsi ke daerah Motong Tinggi, Kecamatan Anjungan, Kabupaten Pontianak, bersama keluarga besarnya.

Ia bertemu jodoh teman sekampung asal Terohok, Mandor. Sambil menahan sakit di perut, perempuan itu menyatakan rata-rata para ibu yang ikut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, sehari-harinya bekerja, sebagai tukang batu.

Lagi-lagi menjadi tukang batu...
Begitu kerasnya hidup yang mesti dijalani para perempuan korban kerusuhan itu. Sehingga harus merelakan tangan dan kaki menjadi kasar dan "kapalan" (berbuku-buku kasar.red), karena memecahkan batu-batu di perbukitan tempat tinggal mereka saat ini, demi sesuap nasi. Dan tentu saja, siap mati terkena longsoran reruntuhan tanah dan batu dari bukit yang rusak.

Mana perhatiannya?
Warga dari pengungsian Motong Tinggi mendatangi DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, guna meminta ganti rugi aset-aset mereka yang telah ditinggalkan dan mengharapkan perlindungan hukum.

Selain itu juga meminta disediakannya pemukiman yang layak beserta fasilitas, menuntut jatah hidup selama 10 tahun yang belum diberikan, dan menuntut penanganan yang lebih serius oleh Pemprov Kalbar agar permasalahan tersebut secepatnya bisa diselesaikan.

Koordinator Forum Peduli Pengungsi Pasca Konflik Sosial, Junaidi (39), sudah 10 tahun menunggu, hingga kini belum ada realisasi dari Pemprov Kalbar.

Sebagai warga negara Indonesia, menurutnya, semua memiliki hak yang sama. Namun yang terjadi selama 10 tahun, mereka harus menderita di barak pengungsian Motong Tinggi tanpa ada kejelasan. Para pengunjuk rasa itu kecewa, mereka seperti diperlakukan sebagai "anak tiri" oleh orang tuanya.

Mereka menyatakan mengharapkan bantuan yang sama yang pernah diberikan kepada para pengungsi korban kerusuhan Sambas, 1999 lalu. "Kami tak dapat rumah. Tak dapat uang atau pun bantuan makanan. Mengapa kami tidak bisa mendapatkannya," kata seorang perempuan kurus dengan bayi dalam gendongan.

Warga yang berunjuk rasa itu, menyatakan diperlakukan tidak adil. Karena pengungsi korban kerusuhan Sambas, sudah mengikuti relokasi -- mendapatkan rumah, tanah dan jatah hidup -- di sejumlah kawasan dalam wilayah Kabupaten Pontianak.

Aksi kali ini, untuk ketigakalinya mereka lakukan. Pada Juni lalu, Asisten I Sekretaris Daerah Kalbar, Ignatius Lyong menyatakan Pemprov akan segera menyelesaikan permasalahan para korban konflik bernuansa SARA 1996-1997 itu.

Mereka ingin bertemu Gubernur Usman Ja'far dan Sekretaris Daerah Syakirman, untuk menanyakan secara langsung nasib mereka selanjutnya. Namun kedua orang tersebut sedang tidak berada di tempat.

"Gubernur kabarnya sudah membentuk tim penanganan pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo. Tetapi mana perhatiannya?" kata Junaidi saat berorasi di teras depan kantor Gubernur Kalbar.
Sekretaris Tim Penanganan Pengungsi 1996-1997 Sanggau Ledo, Totot WD saat berdialog dengan perwakilan warga tersebut, mengakui tim sudah dibentuk oleh Gubernur Kalbar dengan No. 482 tahun 2007 sejak Juni lalu. Tetapi itu baru sekedar pembentukan tim kerja yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah termasuk unsur Polda Kalbar.

"Hingga kini dana untuk pemberian Jadup dan lain sebagainya masih belum ada, sehingga kami masih belum bisa bekerja. Saya minta para korban kerusuhan bisa bersabar," katanya.
Akibat kerusuhan dua etnis pada 1996-1997, sekitar 1.770 kepala keluarga atau sekitar 9.000 warga yang terpaksa mengungsi di dua barak yaitu barak Galang dan Motong Tinggi, yang terletak di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Dalam aksi unjuk rasa ke DPRD dan Kantor Gubernur Kalbar, selain para laki-laki dan perempuan dewasa, juga tampak anak-anak berusia di bawah 10 tahun. "Anak-anak kami ikut ke sini, karena mereka tidak bersekolah," kata Misura.

Foto by: National Geographic

Tidak ada komentar: