Oleh: Nurul Hayat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat, Kamis, 26 Juli, mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Perda hasil usul inisiatif DPRD itu, diharapkan menjadi jawaban atas pencarian solusi kasus trafficking yang setiap tahun semakin bertambah.
Civic Education Budget Transparansi and Advocasi (CiBa) beberapa waktu lalu, memaparkan hasil studinya terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kalbar dalam Pemberantasan Perdagangan Orang. CiBa memaparkan kumpulan penemuan kasus dari beberapa lembaga.
Di antaranya dari International Organization for Migration (IOM). Lembaga tersebut mengungkapkan kasus perdagangan orang, perempuan dan anak yang terjadi di Kalbar periode Juni 2005-Oktober 2006 sebanyak 1.231 kasus, dimana prosentase korban terbesar 80,89 persen berasal dari daerah itu sendiri.
Data lain, berasal dari shelter Aisyiyah Kalbar. Shelter itu mencatat dari Juni 2005-Desember 2006, terdapat 237 korban, terdiri dari 177 orang dewasa dan 60 orang anak-anak dari berbagai provinsi di Indonesia. Sementara data dari Kepolisian Daerah Kalbar, terdapat 21 kasus pada tahun 2005 dan 35 kasus tahun 2006. Meliputi kasus penipuan, pemalsuan surat-surat, perkosaan, mempekerjakan anak di bawah umur, komersialisasi perempuan untuk industri seks, dan lainnya.
Ini hanyalah sebagian kecil dari hasil pengumpulan data yang dilakukan CiBa. Lembaga tersebut juga mencatat data dari Pengadilan Negeri Pontianak, dimana pada tahun 2004 terdapat satu kasus, dan tahun 2006 terdapat 11 kasus. Sementara data dari Kejaksaan Negeri Pontianak, pada 2003 dan 2005 hanya satu kasus, tahun 2004 terdapat dua kasus, dan 2006 terdapat 14 kasus.
Sedangkan data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang dikutip dari liputan media lokal pada tahun 2005 ditemukan 18 kasus, 2006 ada 25 kasus dan hingga Maret 2007 baru ditemukan 1 kasus. Adapun jenis kasus, meliputi, penculikan, penjualan bayi, penjualan perempuan untuk pelacuran, dan penjualan amoy --sebutan bagi perempuan Tionghoa-- untuk pengantin pesanan.
Data dari rumah sakit Dr Soedarso Pontianak, pada tahun 2005-2006 terdapat 17 kasus, dua kasus lain terjadi di tahun 2007.
Sementara ANTARA mencatat, pada tahun 2007 ini telah ada dua perempuan yang melapor ke polisi dalam kasus pengantin pesanan tujuan Taiwan.
Berbagai harapan kemudian muncul, menyusul disahkannya Raperda trafficking itu. Hendaknya keberadaan dan penerapan perda benar-benar dapat mencegah dan memberantas perdagangan orang, terutama perempuan dan anak yang menempatkan Kalbar pada urut ketiga, setelah Jawa Timur dan Jawa Barat.
Harapan itu seperti yang disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar Kalbar, Uray Darmansyah, saat membacakan pendapat akhir fraksinya pada menit-menit menjelang pengesahan raperda.
Anggota Dewan itu menyatakan, pembuatan perda melalui usul inisiatif DPRD, diharapkan berguna untuk memberikan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang. Sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi korban, menjadi persoalan yang sangat mendesak. Ini mengingat persoalan perdagangan perempuan dan anak telah menjadi karakteristik daerah Kalbar.
Perdagangan perempuan dan anak, menurutnya merupakan salah satu bentuk kejahatan dunia yang dewasa ini marak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia menempati peringkat ketiga terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Hal itu tertuang dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Commussion On Asia Pasific (ASCAP) dalam Trafficking in Report, Juli 2001.
Ia menyatakan, perempuan dan anak merupakan bagian dari pilar dan obyek pembangunan berkelanjutan, secara kodrat berada pada posisi lemah. Banyak pihak ingin memanfaatkan kelemahan itu dengan mengeksploitasi dalam berbagai bentuk. Sehingga perlu proteksi yang lebih konkrit, baik melalui aturan perundang-undangan maupun pengamanan, atas tindakan kejahatan terhadap perempuan dan anak.
Sementara anggota Fraksi PDIP, Thamrin, menyatakan perdagangan orang merupakan kejahatan lintas daerah dan negara. Untuk mengatasi persoalan itu, perlu dibangun kebersamaan. "Adanya perda diharapkan dapat mencegah praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan anggota fraksi PPP, H Zainal Abidin AZ. Menurut anggota DPRD itu, perdagangan orang merupakan perbudakan manusia dalam bentuk modern. Bukti empiris menunjukkan bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling banyak menjadi korban.
Adanya perda trafficking, ia mengharapkan agar dapat menjadi "payung hukum" dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus yang terjadi di wilayah Kalbar. Apalagi lahirnya perda mengacu kepada Undang-undang No 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jalur perdagangan
Praktek perdagangan orang yang terjadi di Kalbar, umumnya melalui jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri semisal Malaysia dan pengantin pesanan tujuan Taiwan, Hongkong dan Korea. Korban perdagangan orang itu, sebagian besar adalah para perempuan dan anak, sehingga mafhum jika Perda trafficking Kalbar itu, baik judul maupun isinya menekankan para korban perempuan dan anak.
Faktor utama penyebab terjadinya trafficking, menurut anggota Komisi B DPRD Kalbar, Asmaniar, meliputi persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, pengangguran (kurangnya lapangan pekerjaan) dan minimnya akses informasi.
Para korban umumnya merupakan warga Kalbar yang berasal dari daerah kabupaten/kota yang mengalami persoalan-persoalan di atas. Para korban, umumnya merupakan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja secara tidak resmi di negara jiran. Mereka masuk ke Malaysia melalui "jasa" para calo yang menjual mereka kepada cukong atau majikan di negara tersebut.
Karena tidak memiliki dokumen resmi, majikan memperlakukan mereka dengan semena-mena, semisal menganiaya secara fisik dan psikis dengan tidak membayarkan gaji dan memukuli, bahkan memperkosa.
Bentuk trafficking lainnya, melalui jalur pengantin pesanan yang sudah berlangsung sejak 1980 dengan pelaku pengantin pesanan, umumnya mereka gadis asal Kota Singkawang. "Alasan ekonomi yang dikait-kaitkan dengan budaya, menjadi pemicu maraknya pola pengantin pesanan di Singkawang," kata Agustine Lumangkun, dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjungpura yang juga masuk tim penyusunan Perda Trafficking Kalbar tersebut.
Sampai saat ini, baru dua korban pengantin pesanan yang berani melaporkan kasus yang mereka alami ke lembaga bantuan hukum. "Rasa malu keluarga dan korban menjadi alasan tidak terungkapnya perdagangan orang melalui jalur pengantin pesanan," kata Asmaniar lagi.
Sosialisasi
Penetapan Raperda Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak Kalbar, hendaknya segera disusul dengan upaya penyosialisasian kepada seluruh lapisan masyarakat melalui jejaring yang ada.
Anggota tim penyusun naskah Raperda trafficking Kalbar, Kunthi Tridewiyanti menyatakan, sosialisasi berjenjang dimulai dari jajaran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga di tingkat kecamatan, kelurahan atau desa guna mencegah masih maraknya perdagangan orang karena ulah aparat pemerintah.
Munculnya kasus perdagangan orang, terutama perempuan dan anak di Kalbar, menurutnya, tidak terlepas dari "jasa" aparat di daerah yang menggampangkan dalam pengurusan kartu identitas seperti kartu tanda penduduk (KTP). "Mencuri" (menambahkan) umur atau menjadi warga desa itu padahal merupakan pendatang, merupakan praktek yang biasa terjadi dalam pembuatan KTP.
Karena itu, Kunthi yang juga Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia, mengingatkan agar Pemerintah Provinsi Kalbar secepatnya melakukan sosialisasi.
Menurutnya, sosialisasi berjenjang dilakukan guna mengetahui komitmen dari pemerintah kabupaten/kota terhadap masalah perdagangan orang yang terjadi di daerahnya. Selain berjenjang kepada pemerintah daerah, sosialisasi juga mesti dilakukan pada lingkungan keluarga. Melalui bantuan kelompok pengajian, perkumpulan ibu-ibu, dll.
Hal itu seperti yang telah dilakukan di Sulawesi Utara. Sosialisasi perda serupa dilaksanakan di gereja-gereja dan rumah ibadah lainnya.
Permasalahan perdagangan perempuan dan anak, menurutnya, merupakan persoalan yang rumit dan komplek. Sehingga perlu kerjasama semua pihak dan perhatian yang khusus. Semisal di Sumatera Utara, Perda serupa telah berjalan optimal karena pemerintah setempat cukup respon. Telah dibangun kerjasama parapihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut berperan hingga ke luar negeri mengatasi masalah perdagangan orang tersebut.
Sementara menurut Asmaniar, perda tersebut merupakan landasan mempertegas dalam melakukan tindakan pencegahan. Namun yang penting baginya, perda hendaknya dapat diimplementasikan secara utuh. Bukan hanya menjadi produk hukum yang "mandul". Upaya pencegah tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Tetapi mesti melalui kerjasama dan jejaring secara strategis.
"Diperlukan sosialisasi intensif hingga level bawah dan melibatkan lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan profesi yang tersebar di kabupaten/kota sebagai ujung tombak," jelasnya.
Sekretaris Daerah Kalbar, Syakirman, berjanji menyusul pengesahan Raperda Trafficking, akan membentuk tim sosialisasi. "Sosialisasi dimulai pada instansi terkait di lingkungan Pemprov Kalbar. Akan dibentuk tim untuk turun ke kabupaten/kota," katanya.
Baik Kunthi, Asmaniar maupun Syakirman sama-sama sepakat, tanpa sosialisasi maka keberadaan Perda Trafficking itu hanya akan menjadi produk hukum "mandul". Semua tentu berharap, perdagangan orang hendaknya tidak lagi terjadi.
Perempuan dan anak Indonesia bukanlah "produk ekspor" untuk negara-negara tetangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar