Jumat, 29 Juni 2007

SEBANYAK 12 KELOMPOK PENAMBANG EMAS BEROPERASI DI MAKAM JUANG MANDOR

Pontianak, 29/6 (ANTARA) - Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalimantan Barat, Tri Budiarto menyatakan saat ini terdapat sebanyak 12 kelompok penambang emas tanpa izin yang beroperasi di kawasan konservasi Makam Juang Mandor, Kabupaten Landak.

"Setiap kelompok beranggota 8 - 12 orang. Dalam seharinya, setiap kelompok memproduksi 7 gram emas dan dibantu mesin dompeng," kata Tri Budiarto di Pontianak, Jumat.

Ia mengatakan, aktivitas PETI mulai merambah kompleks Makam Juang Mandor diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1980an. Namun dalam sejarahnya, PETI di Kalbar sudah ada sejak abad 18 secara kecil-kecilan dari sungai ke sungai oleh orang Tionghoa. Komunitas penambangan terbesarnya di Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang.

Dinas Pertambangan, menurut Tri, pernah membagikan alat penghisap merkuri di kawasan PETI Mandor, namun hingga kini tidak diketahui secara pasti apakah alat yang disebut mercury retor tersebut dipergunakan oleh masyarakat penambang. Ia menduga alat itu tidak berguna, karena saat dibagikan kepada penambang tidak disertai dengan penjelasan cara penggunaan alat tersebut, sehingga penambang enggan memakainya.

Kompleks Makam Juang Mandor merupakan kawasan konservasi yang pengawasannya di bawah kewenangan Departemen Kehutanan RI, melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Sementara itu, seorang Peneliti Sejarah Kalbar, Sudarto, 73, mengatakan, penambangan emas di Kalbar sudah berlangsung sejak 1830 dengan lokasi Mandor dan Monterado. Ia mengatakan asal mula penambangan emas dilakukan oleh warga Tionghoa atas seizin Sultan Pontianak.
Mengenai kaitannya dengan lokasi penambangan emas yang berada di dalam kompleks Makam Juang Mandor, menurut Sudarto aktivitas itu lebih dahulu muncul dan baru disusul adanya pembangunan kompleks makam.

Adalah Gubernur Kalbar, Kadarusno, pada tahun 1977 membangun kompleks makam karena mendapat laporan dari masyarakat mengenai adanya penemuan ratusan tulang tengkorak manusia yang menjadi korban pembantaian tentara Jepang pada kurun waktu antara 1942-1944 di bekas lokasi penambangan emas.

Diperkirakan tulang itu muncul karena pasir yang tergerus setelah adanya aktivitas penambangan. Tulang kemudian dikumpulkan dan dibangunlah kompleks pemakaman massal dengan 10 lokasi terpisah. "Jadi keberadaan penambangan emas sudah lebih dahulu daripada kompleks makam itu," jelasnya.

Ia mengatakan, penambangan emas terjadi secara alamiah karena Kalbar dikenal sebagai daerah penghasil bahan galian tersebut. Para penambang tidak dapat dikatakan sebagai pihak yang tidak menghargai nilai sejarah yang ada. Karena mereka merupakan para pekerja (buruh) yang tidak mengerti di lokasi penambangan itu terdapat situs.

Menurutnya lagi, Makam Juang Mandor yang dibangun sejak tahun 1977, dalam perjalanan waktu yang ada tidak mengalami perubahan berarti. Gubernur Parjoko yang memimpin pemerintahan di Kalbar tahun 1988-1993 pernah menyatakan kepadanya agar membuat buku mengenai peristiwa Mandor sehingga generasi penerus bisa mengetahui sejarah itu.

Sudarto yang saat itu masih menjadi guru pada SMA Santo Paulus Pontianak, menyarankan Gubernur Parjoko agar menunda rencana itu karena belum banyak informasi yang bisa menjadi literatur untuk menuliskan sejarah tersebut dalam sebuah buku.

"Saat ini saya dan teman-teman masih mengumpulkan arsip yang ada. Arsip dicari hingga ke Belanda. Karena di sini tidak ada arsip dan menjadi kebiasaan kita, arsip penting yang ada malah 'dikilo' (dijual perkilogram-red)," kata Sudarto yang juga menjadi Konsultan Pendidikan di Dinas Pendidikan Kalbar.

Kamis, 28 Juni 2007

MASYARAKAT KALBAR HANYA PERLU PENGAKUAN JEPANG ATAS PERISTIWA MANDOR

Pontianak, 28/6 (ANTARA) - Berbagai pihak di Kalimantan Barat menyatakan peringatan Hari Berkabung Daerah pada setiap 28 Juni guna mengenang kekejaman Jepang di daerah tersebut yang membunuh sekitar 21.037 orang hanya sebagai simbol, yang terpenting adalah adanya pengakuan Pemerintah Jepang baik secara moril maupun politik atas pembantaian yang pernah terjadi.

"Ini hanya simbol saja. Kita menunggu pengakuan Jepang atas peristiwa itu," kata salah satu Ketua Yayasan Bhakti Suci, Rudy Lesmana, saat ditemui seusai Upacara Peringatan Hari Berkabung Daerah di Makan Juang Mandor, Kabupaten Landak, Kamis.

Menurut ia, pengakuan itu menjadi penting bagi ahli waris korban pembunuhan yang dilakukan tentara Jepang pada sekitar tahun 1942-1944. Mereka yang dibunuh oleh Jepang, di antaranya adalah pejuang, tokoh masyarakat/agama, cendikiawan, dan wartawan, serta pengusaha.

Karena itu menyangkut pertanggungjawaban moril. Hal senada juga disampaikan Pemerhati Sejarah, Syafaruddin Usman, bahwa pengakuan secara moral dan politis merupakan permintaan yang layak disampaikan warga Kalbar saat ini. Ia memperkirakan 75 persen korban pembantaian merupakan warga Tionghoa.


Rudy Lesmana menambahkan, adanya peringatan HBD merupakan peringatan bagi semua bangsa di dunia agar jangan semena-mena dengan bangsa lain.


Sementara itu, Sekretaris Yayasan Bhakti Suci, Ateng Sanjaya, menyatakan, banyaknya korban yang gugur karena kejahatan tentara Jepang saat zaman kemerdakaan, merupakan simbol kesatuan antaretnis yang ada di Kalbar.


"Kita bisa mengetahui di sini, ada banyak etnis yang menjadi korban Jepang. Mereka dikubur pada satu tempat, bercampur menjadi satu dan tidak ada perbedaan. Itu merupakan simbol harmonisasi di antara suku bangsa yang ada," katanya.


Peringatan HBD Kalbar yang berlangsung di Makam Juang Mandor, dihadiri ribuan orang, termasuk keluarga para korban.


Seorang pengunjung makam, Lim Bak Jue, 68, sebanyak 8 anggota keluarganya yang terdiri dari dua paman dan enam saudara sepupu telah menjadi korban. Mereka itu terdiri dari Lim Hak Sio, Lim Keng Tie, Lim Bak Cui, Lim Bak Kim, Lim Bak Khim, Lim Bak Song, Lim Bak Chai, dan Lim Bak Huat.


Keluarga besar ini merupakan pengusaha Tionghoa di Kota Pontianak yang bertempat tinggal di jalan Kapuas Besar. Keluarga besarnya pemilik PT Lim Lang Hiang dengan bisnis meliputi pabrik es batu, perkebunan karet, dan bioskop "Excellent" (bioskop pertama yang berdiri di Pontianak).


Lim Bak Jue bersama cucu dari Lim Bak Kim, Lim Hiok alias Heryanto, 50, pada setiap tahunnya, baik diundang maupun tidak oleh pemerintah daerah selalu melakukan ziarah ke Makam Juang Mandor.


"Saat peristiwa itu, saya masih berusia 4 tahun. Sehingga belum tahu apa-apa. Tetapi telah mendengar cerita dari orang tua," kata Lim Bak Jue.


Senada dengan lainnya, ia pun menilai apa yang ada di Makam Juang Mandor
saat ini hanya sebagai simbol yang untuk dikenang tetapi tidak untuk diratapi. Peristiwa masa lalu yang buruk, hendaknya dilupakan dan menjadi pelajaran.


Dalam peringatan HBD, Gubernur Kalbar Usman Ja'far memimpin upacara yang digelar di depan pintu masuk makam. Rombongan gubernur juga berkeliling ke kompleks makam yang tersebar di 10 lokasi dengan ukuran makam 10 meter dan lebar 4 meter.


Sebanyak 48 foto korban dipajang di pintu masuk makam. Di antaranya, Sultan Pontianak, Sultan Syarif Alkadri dan tiga anaknya, Pangeran Agung, Pangeran Adi Pati, dan Syarifah Maimunah Alkadrie, Pangeran Mempawah Muhammad Taufik, Panembahan Sintang Reden Abdul Bahry Danu Perdana, menantu Sultan Pontianak Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, juru tulis Swapraja, Yusuf Bin Abubakar Alqadrie, Kepala Rumah Sakit Mempawah Dr Rubini dan Istri, dan sejumlah nama lain yang tercatat sebagai pedagang, wartawan, tokoh perempuan, dll.

Rabu, 27 Juni 2007

KALBAR KEHILANGAN 130.398 HEKTAR KAWASAN HUTAN PADA SETIAP TAHUN


Pontianak, 27/6 (ANTARA) - Provinsi Kalimantan Barat mengalami kehilangan kawasan hutan seluas 130.398 hektar per tahun yang salah satu penyebabnya karena aktivitas illegal logging yang tidak terkendali.

Faktor lain yang menjadi penyebab hilangan kawasan hutan Kalbar, karena kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan kerugian secara ekonomi lebih dari Rp64 miliar, demikian keterangan tertulis EC-Indonesia FLEGT Support Project, sebuah Program Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa di bidang Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola Pemerintah dan Perdagangan Kayu, yang diterima ANTARA di Pontianak, Rabu.


Kerugian ekologis dari kebakaran hutan nilainya juga sangat besar, yakni mencapai Rp2,5 triliun. Belum lagi akibat dari kegiatan pertambahan illegal yang menurut data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kalbar pada 1999 tercatat ada 3.573 unit dompeng -- mesin pengeruk pasir untuk mencari emas -- yang beroperasi di sejumlah wilayah di Kalbar.


Namun, praktek pembalakan dan perambahan liar, tetap merupakan penyebab utama yang memberikan kontribusi besar terhadap laju kehilangan hutan di Kalbar hingga saat ini. Praktek itu dijalankan dengan sebuah sistem yang kokoh dan nyaris tidak tersentuh oleh hukum.


Menurut EC-Indonesia FLEGT Support Project, Departemen Kehutanan RI menyebut bahwa illegal logging dilakukan oleh suatu sistem bisnis kegiatan kriminal yang dikelola dengan baik dan memiliki pendukung yang kuat dengan jaringan kerja yang sangat ekstensif, sangat mantap dan kokoh sehingga sulit ditolak, diancam dan sebenarnya secara fisik mengancam otoritas penegakan hukum di Indonesia.


Selain itu, lemahnya sistem pengelolaan dan pemantauan pelestarian hutan serta terbatasnya komunikasi, koordinasi dan partisipasi para pihak dalam melindungi dan melestarikan hutan, juga memberikan andil bagi meningkatnya angkat kerusakan hutan. Kondisi tersebut diperparah dengan lemahnya sistem penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar, serta rendahnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan praktek-praktek kejahatan kehutanan.


Untuk itu, diperlukan upaya kampanye menyeluruh antipembalakan dan perambahan liar yang melibatkan banyak pihak yang dilakukan secara komprehensif dan strategis.


Berkaitan itu, EC-Indonesia FLEGT Support Project, menyelenggarakan Kuliah Umum Hutan dan Upaya Perlindungan Hutan di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak pada hari ini.


Kuliah umum tersebut akan menampilkan narasumber angota Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Kamar Akademisi dan juga pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Dr Sofyan Warsito dan Sekretaris Eksekutif Seknas FKKM, Ir Muayat Ali Muhshi. Keduanya menyampaikan materi mengenai "Peta Kondisi Hutan Indonesia dari Masa ke Masa: Fungsi dan Kerusakannya", dan "Pengelolaan dan Perlindungan Hutan, Peluang Peran serta Masyarakat dan Perguruan Tinggi".

Senin, 25 Juni 2007

MENGAMBIL MANFAAT MENABUNG MELALUI CREDIT UNION

Oleh Nurul Hayat

Pilihan menabung dewasa ini semakin banyak, tidak hanya pada lembaga perbankan, tetapi juga dapat dilakukan melalui Credit Union atau lembaga keuangan yang di dalamnya berkumpul orang yang saling percaya dan berwatak sosial, dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama.

Credit Union (CU), diambil dari bahasa Latin "credere" yang artinya percaya dan "union" atau "unus" berarti kumpulan. Sehingga "Credit Union" memiliki makna kumpulan orang yang saling percaya, dalam suatu ikatan pemersatu yang sepakat untuk menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.

Credit Union, menurut Pendiri Credit Union Pancur Kasih, Drs Anselmus Robertus Mecer, 53, pertama kali muncul di Indonesia pada 1960-an yang mulai dikembangkan dari barat.

Seorang pastor Katolik asal Jerman bertugas di Indonesia dan membawa konsep tersebut. Kemudian CU mulai diperkenalkan ke Kalimantan Barat pada 1975.

Melalui gereja Katolik, diadakan pelatihan pembentukan CU sehingga lahir 40 kelompok. Namun pasang dan surut selalu ada. Satu demi satu, CU berguguran lantas hilang. Kemudian pada tahun 1985, dilakukan sosialisasi ulang dan pelatihan. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), salah satunya, Pancur Kasih, mengikuti pelatihan tersebut.

"Saya mewakili Pancur Kasih ikut dalam pelatihan itu," kata AR Mecer saat ditemui beberapa waktu lalu.

Setelah mengikuti pelatihan selama tiga hari, AR Mecer mengaku tertarik, sehingga pada tahun yang sama mulai membangun lembaga keuangan itu bersama sejumlah rekannya.

Maka dibentuklah CU Khatulistiwa Bhakti, sebagai CU pertama di Kalimantan Barat yang berdiri pada 12 Mei 1985. Hingga Maret 2007CU masih punya anggota sebanyak 10.707 orang.

Keberadaan CU, katanya, memiliki manfaat besar bagi masyarakat. Mungkin sebagian orang masih bertanya-tanya, CU tentu saja sama artinya dengan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan lain. Namun, bagi mereka yang bergelut dalam bidang ini, tentulah menampik dugaan tersebut.

Credit Union, tentu saja beda dengan koperasi atau lembaga perbankan umumnya, demikian pendapat Mariamah Achmad seorang aktivis penggagas pembentukan CU Muare Pesisir yang anggotanya kebanyakan para perempuan pencari nafkah keluarga.

Menurut ia, manfaat CU bagi anggota adalah mengubah pola pikir. Maksudnya, dari yang terbiasa instan -- langsung memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman -- menjadi menciptakan modal dahulu dengan menabung secara rutin. Jika telah tercipta modal atau tabungan, baru memanfaatkan atau meminjam. "Inilah yang tidak ditemukan di lembaga keuangan lainnya," katanya, berpromosi.

Selain itu, CU juga dapat mengubah kebiasaan seseorang dari tidak biasa menabung menjadi biasa menabung. Anggota CU selalu mempunyai uang dalam bentuk tabungan yang terus meningkat, dan selalu bisa memanfaatkan tabungan untuk meningkatkan jumlah untuk menciptakan aset.

Ia mengatakan, pada awalnya, sebagian besar anggota CU tidak biasa menabung secara rutin. Tetapi setelah menjadi anggota dan banyak belajar, mereka pun akhirnya menyadari manfaat menabung rutin itu. Apalagi dengan menabung, anggota mendapatkan balas jasa simpanan (BJS).

Jika menjadi anggota CU, seorang anggota mesti menabung untuk meningkatkan modal. "Menabung sistem CU berbeda dengan menabung secara 'tradisional' di lembaga lain, misalnya bank, setelah menabung, uang itu ditarik untuk dipergunakan. Tetapi di CU, lebih modern karena ada dana yang tersimpan," katanya.

Kepercayaan anggota Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat akan keberadaan CU, jumlah lembaga keuangan itu terus bertambah dari tahun ke tahun.

Menurut data Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Kalimantan (BK3D), saat ini sudah ada 48 credit union yang menjadi anggota organisasi tersebut.

BK3D yang diibaratkan sebagai "Bank Indonesia" credit union tersebut, saat ini sudah memiliki anggota tersebar pada tujuh kabupaten/kota di Kalimantan Barat, ditambah dari Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Papua, dan DKI Jakarta.

Kemunculan CU di beberapa tempat tidak terlepas dari kesuksesan yang diraih CU perintisan dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Keberadaan CU perintisan seperti, Khatulistiwa Bhakti, agaknya menjadi pondasi yang kokoh memunculkan CU-CU lain yang juga mengalami perkembangan sangat pesat.

Setelah kemunculan Khatulistiwa Bhakti pada 12 Mei 1985 -- memiliki anggota hingga Maret 2007 berjumlah 10.707 orang -- disusul dengan terbentuknya CU Lantang Tipo yang berdiri tahun 1976 dengan 55.387 anggota, CU Pancur Kasih pada 28 Mei 1987 beranggota 60.786 orang, CU Keling Kumang tahun 1993 beranggota 25.424 orang, CU Stella Maris pada 1995 sebanyak 1800 anggota, dan CU Canaga Antutn pada 1996 beranggotakan 6.744 orang.

"Hingga kini jumlah CU yang tercatat sebagai anggota BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah) Kalimantan telah mencapai 48 CU beranggotanya seribu hingga belasan ribu orang," kata AR Mecer, yang menjadi Ketua BK3D Kalimantan sejak 2002.

Hingga Maret lalu, jumlah anggota dari 48 CU yang ada mencapai 334.119 orang, terdiri dari 219.076 anggota laki-laki dan 115.043 anggota perempuan dengan total aset Rp1.628.267.075.968.

Pancur Kasih saat ini merupakan yang terbesar dengan jumlah anggota mencapai 60.786 orang yang terdaftar pada 26 tempat pelayanan (TP) di tujuh kabupaten/kota.

Ketua Dewan Pengurus CU Pancur Kasih, Norberta Yati Lantok, mengatakan, jumlah anggota 60.786 tersebut, termasuk yang tidak aktif sekitar 7,2 persen dengan kriteria belum keluar dari anggota atau tidak menabung.

Jumlah anggota yang terus bertambah tiap tahunnya, tidak terlepas dari upaya pengurus dalam menerapkan prinsip manajemen terbuka, di mana setiap perkembangan selalu ditampilkan per bulan.

Data Pancur Kasih mengungkap sejak Januari-Mei 2007, rata-rata anggota baru pada setiap bulan mencapai 900 orang, terdiri dari berbagai golongan masyarakat. Mereka terdiri dari petani, nelayan, pegawai negeri, pengusaha, hingga dokter.

Menurut Yati, sapaan Ketua Dewan Pengurus Pancur Kasih itu, pada awalnya kelahiran Pancur Kasih adalah untuk melayani masyarakat yang tidak bisa menggunakan jasa lembaga keuangan lain, perbankan sebagai tempat mendapatkan modal pinjaman. Tercatat 99 persen anggota CU adalah lapisan menengah ke bawah.

Namun karena unsur kepercayaan dan kebersamaan yang diutamakan, setiap anggota dapat mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di CU, kini anggotanya datang dari banyak lapisan masyarakat.

Melalui papan pengumuman yang terpampang pada setiap tempat pelayanan, anggota mendapatkan informasi bulan per bulan dari kemajuan CU. Setahun sekali rapat anggota tahun (RAT) digelar secara terbuka. Para anggota dapat mengetahui apa saja yang terjadi dan berkembang di CU tersebut.

Karena itu, jika pada Maret lalu nilai aset Pancur Kasih mencapai Rp384.806.345.052, maka pada Juni ini asetnya telah mencapai Rp396.949.030.000. "Kepercayaan menjadi modal untuk berkembangnya sebuah lembaga keuangan yang berorientasi kepada masyarakat," katanya.

Seorang anggota CU, Viktoria, 23, mengaku tertarik bergabung dengan lembaga tersebut karena mengetahui manfaat yang akan diperolehnya.

Alasannya menjadi anggota CU, karena mendengar banyak keuntungan yang akan diperoleh dengan menabung di lembaga keuangan itu. "Saya khawatir gaji sebulan akan habis begitu saja jika tidak ditabung. Melalui CU, saya mempunyai kewajiban menabung setiap bulan," kata alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura Pontianak itu.

Ia mengatakan, ada banyak keuntungan yang akan diperoleh, misalnya saja, jika menabung pada tahun ini sebesar Rp1.000.000, maka dapat dipastikan tabungan sudah berlipat 1,5 kali dari jumlah tersebut pada 2 tahun kemudian.

Anggota tidak begitu saja dapat meminjam uang di CU, karena berkewajiban menabung dahulu dan setelah mempunyai tabungan, baru mendapat pinjaman 250 persen dari tabungan yang ada.

"Kita menjadi terbiasa menabung, akan memperoleh manfaat dari berbagai bentuk balas jasa yang diberikan CU," kata Victoria yang telah menjadi anggota sejak pertengahan tahun 2006.

Ia mengaku kurang tertarik dengan "model" menabung yang diterapkan di lembaga keuangan lainnya, karena tidak memberikan janji lebih seperti yang kini berlaku di setiap credit union. Menabung di lembaga keuangan lain, baginya, masih menerapkan pola lama dengan keuntungan kecil untuk setiap nasabah.

Minggu, 17 Juni 2007

BUDAYA DAYAK BELUM MEWARNAI PERFILMAN NASIONAL


Pontianak, 21/5 (ANTARA) - Produser Film, Jeremias Nyangoen, Senin, mengatakan budaya Dayak belum ikut mewarnai perfilman tanah air, sehingga cukup sulit menemukan film dokumenter atau cerita bioskop yang berseting budaya Dayak di Indonesia.

Sepanjang Indonesia merdeka hingga saat ini, diperkirakan baru ada satu film bioskop yang pengambilan gambarnya di Kalimantan yakni "Jeram-jeram Cinta". Namun isinya pun perlu ditilik kembali apakah sudah cukup kuat mengangkat budaya Dayak, kata Jeremias Nyangoen, dalam Dialog Budaya Dayak di kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Ia mengatakan, tak berbeda jauh dengan film dokumenter atau pun sinetron dalam tayangan televisi nasional, dapat dikatakan belum ada tema-tema budaya Dayak.

Hal itu bisa terjadi karena beberapa alasan, di antaranya jarangnya film berseting budaya Dayak diproduksi karena biaya produksi yang mahal, sehingga dianggap tidak begitu penting karena bukan kebutuhan primer.

Sulitnya birokrasi untuk meminjam atau menonton film tersebut, selain menontonnya di televisi dengan jumlah tayangan yang sangat terbatas. Serta diperlukan biaya dan waktu khusus untuk melakukan riset dan pengumpulan data dari para peneliti seni asing dari Perancis, Belanda, Selandia Baru, Amerika dan Jerman.

Produser yang juga aktor itu menyatakan, lazimnya sebagai pekerja seni pembuat film, ketika mendengar kata Dayak, maka akan tergambar hutan belantara, anak sungai yang panjang berliku, hujan dan matahari, rumah panjang, laki-laki dan perempuan yang menghias diri dengan tato.

"Sesuatu yang natural dan eksotis seperti suku Indian yang kita lihat di buku-buku atau film Hollywood," katanya. Meski pada kenyataannya tidak semua tempat di Kalimantan seperti itu lagi.

Menurut ia lagi, kehadiran film Indonesia di tengah masyarakat tidak saja diartikan sebagai lahirnya produk seni budaya, namun dapat pula dilihat sebagai produk ekonomi, karena menyerap tenaga kerja dan menjawab tantangan global terhadap perfilman dunia.

Film nasional, menurutnya, tidak saja diproduksi di Jakarta. Tetapi kini juga sudah menyebar ke daerah. Karena pemerintah daerah menyadari film tidak saja dilihat sebagai sarana pendidikan, komunikasi dan hiburan, namun juga menjadi salah satu unsur kekuatan ekonomi.

"Dan lebih jauh lagi, hal itu untuk membuktikan eksistensi pemda yang bermanfaat bagi masyarakat," imbuhnya.

Bali, Lombok, Toraja, Riau, Gorontalo, Papua, merupakan nama daerah yang sudah terlebih dahulu melihat bahwa produksi film sangat penting. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan daerah lain, khususnya Kalimantan?

Dalam dialog yang dihadiri peserta Gelar Budaya Dayak se Kalimantan itu, Jeremias mengatakan hendaknya pemerintah daerah di Kalimantan menyimpan dokumen yang ada dengan rapi dan aman, membuat film profil daerah film dokumenter dan film cerita bioskop yang bermutu dari tanah Kalimantan.
Sehingga ada rekaman sejarah dari waktu ke waktu atas perjalanan kehidupan anak bangsa khususnya dari suku Dayak.

Masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu agar semua dapat terwujud. Sehingga akan semakin banyak film Indonesia yang lahir tidak saja berseting budaya Jawa, Bali, Lombok, Gorontalo, atau pun Papua, tetapi juga Kalimantan khususnya mengangkat budaya Dayak. "Sehingga budaya Dayak juga ikut mewarnai perfilman nasional," katanya.

Foto Title: Robok-robok by: Nurul Hayat

Rabu, 13 Juni 2007

KETIKA HARAPAN SEJAHTERA DARI PENGANTIN PESANAN GAGAL DIRAIH

Oleh Nurul Hayat

Tak selamanya harapan dan mimpi menjadi pengantin di negeri orang bisa diraih. Ada banyak kasus, mereka pulang dengan kekecewaan setelah menyadari pasangannya tidak sanggup memberikan nafkah lahir batin.

Siang itu, dua remaja terlihat berjalan-jalan di sebuah mall mewah di Kota Pontianak, Kalbar. Kulit mereka putih dan sama-sama berambut sebahu. Sementara di sudut lain, di tempat jajanan terlengkap dalam mall, dua perempuan tampak sedang serius berbicara.

Sekilas tidak ada hubungan di antara keempat orang tersebut. Namun, ternyata tidak begitu, baik dua remaja maupun dua perempuan itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Mereka adalah korban pengantin pesanan dan aktivis perempuan yang peduli terhadap masalah tersebut.

"Kami membawa mereka berjalan-jalan agar hilang stres sehabis menjalani pemeriksaan polisi," kata salah satunya, Rosita Nengsih, SH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PEKA) Kalimantan Barat, Selasa petang.

Ia bersama aktivis perempuan Pontianak, Hairiah SH, saat ini terdaftar sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Kalimantan Barat.
Dua orang lainnya yang dimaksudkan Neneng, sapaan akrab Rosita Nengsih, adalah remaja berusia 17 tahun, yang cukup disebutkan inisial, yakni Al dan Af. Keduanya adalah korban pengantin pesanan tujuan Taiwan.

Siapa sangka, Al dan Af yang sedang berjalan-jalan keliling pertokoan dalam komplek mall itu merupakan korban pengantin pesanan? Apalagi selama ini kasus tersebut tidak pernah mengemuka di publik. Hanya menjadi rahasia umum, bahwa di Kalbar terdapat "budaya" kawin pesanan di komunitas Tionghoa di wilayah utaranya, meliputi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas dan Bengkayang.

Al, yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD, masih beruntung bila dibandingkan dengan Af, meski ia sempat bersekolah hingga kelas 3 SMP. Al lebih dahulu menyadari dirinya akan menderita jika tetap memutuskan menerima lamaran seorang warga Taiwan. Ia membatalkan lamaran yang diperantarai (mak coblang) itu saat masih berada di kampung halaman, Kota Singkawang.

Pembatalan lamaran ia lakukan, karena tidak siap menikah di usia muda. Meski sempat dicegah oleh orang tua yang terlanjur percaya dengan janji-janji mak comblang, pembatalan pun akhirnya tetap dilakukan.

Sebelumnya, keluarga Al dijanjikan mendapatkan uang Rp5 juta ditambah sejumlah uang lain untuk biaya pernikahan. Namun, rencana itu batal karena Al tidak bersedia. Keluarganya malah memutuskan melaporkan kasus tersebut ke polisi setempat pada 30 Februari lalu.

Sementara Af, mengaku sempat menetap sebulan di Taiwan. Karena tidak puas dengan kehidupan di negeri orang itu, ia pun meminta pulang. "Tunangan saya menyatakan, kalau tidak mau menikah mesti pilih calon lainnya," kata perempuan putih berambut sebahu itu.
Syukurnya, Af masih bernasib baik. Ia dapat pulang ke Indonesia, meski hanya diantar sampai ke bandara Taipei dan naik pesawat seorang diri menuju Jakarta.

Baru, setibanya di Jakarta, Af dijemput anak calonya dan melanjutkan perjalanan udara menuju Pontianak. Lantas, keluarganya pun memutuskan melaporkan masalah yang dihadapi Af kepada polisi pada 4 Juni lalu.

Saat ini kedua remaja itu menunggu proses hukum lanjut. Mereka didampingi LBH PEKA yang berkantor di Kota Singkawang. Selama menunggu proses hukum berjalan, mereka tinggal di shelter LBH PEKA dan mendapatkan pelatihan menjahit serta salon kecantikan.
Menanggapi adanya korban pengantin pesanan, Neneng, menyatakan kasus itu baru pertama kali mengemuka. Selama ini, meski ada korban, namun belum satu pun yang pernah melaporkan masalah yang mereka hadapi.

Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan enggan melaporkan kasus itu karena berbagai alasan. Di antaranya, perasaan malu dan ketidaktahuan terhadap persoalan hukum. Sementara faktor ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, menjadi alasan masih tingginya jumlah pengantin pesanan asal daerah di utara Kalbar itu.

"Pelaku pengantin pesanan umumnya berasal dari keluarga tidak mampu dan berpendidikan rendah. Mereka melihat ada pengantin yang sukses dan memberikan kekayaan kepada orang tua di kampung dan itulah yang menjadi contoh bagi yang lainnya," kata Neneng.

Namun, tidak selamanya mimpi indah dari perkawinan antarnegara itu berjalan lancar dan membawa kesejahteraan bagi keluarga dari pihak perempuan. Ada banyak kasus, korban menjadi stres dan lantas gila, atau mengalami penganiayaan fisik selama menjadi istri dari warga negara Taiwan.

Ia mengatakan, selama ini korban pengantin pesanan tidak pernah melapor. Baru tahun ini, LBH PEKA mendapatkan dua korban tersebut setelah ada laporan ke polisi.

Meski ditemukan adanya korban, namun tidak sedikit mereka yang menempuh proses itu berhasil dalam hidupnya. Bentuk keberhasilan itu bisa dilihat saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Sejumlah bank di Singkawang, menerima transferan dana dari warganya yang menetap di luar negeri (termasuk Taiwan) mencapai miliaran rupiah.

"Rumah-rumah orang tua yang memiliki anak sukses dari menikah dengan warga Taiwan, terlihat cantik dan dibangun permanen," katanya.

Menurut Neneng, data dari Pemerintah Kabupaten Sambas tahun 2007 menyebutkan sejak tahun 1980 hingga 2007, tercatat ada sekitar 27 ribu warga asal Sambas, Singkawang dan Bengkayang menetap di Taiwan karena perkawinan antarnegara tersebut. Jumlah itu meningkat 3.000 orang bila dibanding tahun 2000.

Kasus pengantin pesanan yang menimpa Al dan Af, sedianya akan diselesaikan melalui jalur hukum.

Saat ini penegak hukum baru dapat memproses pelaku pelanggaran Undang-undang Trafficking No. 21 tahun 2007 dengan ancaman hukuman seberat-beratnya 15 tahun penjara dan denda seberat-beratnya Rp300 juta. Dua pihak yang bisa tersangkut UU itu, calo atau mak comblang dan cangkau (bagian pemalsu dokumen).

Pria tua dan miskin

Aktivis perempuan, Hairiah, SH mengatakan, para pria asing yang mengawini perempuan-perempuan muda dari etnis Tionghoa itu, kebanyakan berusia tua dan hidup miskin di negaranya.

Biaya perkawinan yang mahal di Taiwan, mengakibatkan para "bujang lapuk" mencari jodoh dari negeri seberang, seperti Indonesia. Hanya dengan biaya beberapa puluh juta rupiah, seorang laki-laki Taiwan dapat memperistri perempuan muda dari Indonesia.

Singkawang, Sambas, dan Bengkayang, menjadi pilihan, karena dalam sejarahnya, telah banyak warga setempat yang bersedia menikah dengan warga Taiwan dan menetap di negara tersebut.

Menurut Neneng lagi, tingginya angka pengantin pesanan di Singkawang, karena kota yang dikenal sebagai kota amoy itu sebanyak 62 persen penduduknya warga Tionghoa. "Kebanyakan mereka yang memilih menikah cara itu, berasal dari keluarga miskin yang hidup di pinggiran kota Singkawang," ujarnya.

Sementara menurut Hairiah yang pernah berkunjung ke Taiwan selama dua pekan, laki-laki yang melakukan pernikahan dengan memesan pada mak comblang itu, biasanya berusia di atas 35 tahun. Penampilan fisik mereka tidak menarik. Ada di antaranya selalu mengunyah daun sirih, menandakan usia tua dan masih hidup di lingkungan tradisional. Mereka umumnya berpenghasilan kecil dan bekerja di perusahaan jasa pembersih.

Dari pengakuan Af, calon yang sedianya akan menikah dengan ia, saat diperkenalkan masih berusia 34 tahun. Namun setelah berada di Taiwan, pasangannya itu mengaku berusia 37 tahun. "Kepalanya sudah botak karena rambut yang menipis," katanya.

Af juga menyatakan, mak comblang menyebutkan tunangannya itu memiliki bisnis penjualan hio (stanggi) untuk sembahyang. Namun ketika bertemu di Taiwan, ternyata ia hanya memiliki usaha kecil hasil kerjasama dengan saudaranya.

Karena kenyataan yang tidak sesuai dengan janji itulah yang membuat Af membatalkan niat menikah dengan warga Taiwan.

Menurut Hairiah yang juga anggota Komnas HAM Perwakilan Kalbar, persoalan yang terjadi dalam pengantin pesanan, biasanya terkait dengan pelanggaran hak-hak. Selain janji yang tidak ditepati, pihak perempuan tidak jarang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dari hasil perkawinan itu. Si perempuan yang hidup jauh dari kampung halamannya, menjadi pembantu dalam rumah tangganya, yang di sana juga menetap di keluarga besar suami.

Ia mengatakan, diperlukan upaya sinergis dari pemerintah guna mengatasi permasalahan tersebut. Upaya itu tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) tetapi juga memerlukan peran serta pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan tersebut.

Upaya nyata yang dapat dilakukan guna menekan angka korban akibat pola pernikahan melalui pesanan itu adalah dengan mengeluarkan peringatan kepada masyarakat mengenai efek negatif dari adanya pernikahan antarnegara model tersebut.

Dampak negatif itu antara lain, baik perempuan maupun keluarganya tidak mengenal secara jelas identitas calon suami anak-anak mereka. Jaminan hidup berupa kekayaan atau harta benda berlimpah masih menimbulkan "tanda tanya besar", karena pada kenyataannya banyak kasus yang terjadi, pasangan suaminya adalah pria tua dan miskin.

"Kalau mendapatkan pasangan yang seperti itu, tentu saja mereka (korban) tidak akan mendapatkan kesejahteraan dalam hidup mereka," jelasnya.

Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Pontianak itu menyambut baik adanya upaya pihak keluarga korban memproses masalah tersebut melalui jalur hukum. "Saya menyambut positif upaya hukum yang mereka tempuh," katanya.

Upaya hukum seperti itu telah sekian lama ditunggu, namun tampaknya proses pembelajaran baru dapat tercapai dalam kurun waktu 27 tahun kemudian. Meskipun demikian, tentu saja belum ada kata terlambat.

Jumat, 08 Juni 2007

Cerita “Cori Nariswari Mernissi”

Friday, June 8, 2007.

Cori Nariswari Mernissi, si mungil yang pada Sabtu, 9 Juni, 2007 telah berusia 4 bulan. Sekarang sudah semakin lincah dan aktif. Ia telah pandai tengkurap dan menegakkan kepalanya saat masih 3,5 bulan.

Kebahagiaan mengukir kehidupan ayah ibunya, karena bayi mungil itu kini semakin besar dan cerdas.

Hari ini, usianya 4 bulan. Ia semakin mengerti dengan kasih sayang orang di sekitarnya. Cori selalu berupaya meminta perhatian. Ia tidak betah kalau hanya berada di tempat tidur.

Bangun tidur jam 04.30 WIB, Cori sudah mengajak ibunya bermain-main dan bercanda. Walau pun mulutnya hanya mengeluarkan suara tanpa kalimat-kalimat, tetapi ia berusaha mengungkapkan keinginan hati, bermain dan dipeluk dalam gendongan ibu.

Mata masih berat untuk membuka, tetapi demi Cori, ibu pun tidak bisa menuruti ego-nya. Cori akhirnya didekap dan dirangkul dibawa berjalan-jalan dalam kamar tidur.

Jika sudah lelah menggendong, pinggang ngilu, ibu hendak meletakkan Cori kembali ke tempat tidur. Waduuh.. inilah reaksinya, Cori ngambek, merengek minta gendong lagi dengan menunjukkan bibir yang hendak menangis keras.

Ibu menjadi tidak tega, lantas mengambil kembali Cori untuk didekap dalam pelukan. Dengan wajah riang gembira, Cori menyambut tangan ibunya dengan cara mendongakkan wajah dan kepala ke atas.

Lepas pagi, saat matahari hendak muncul dari peraduan, Cori tidak sabar untuk keluar dari kamar tidur. Ia ingin menyambut ciuman sayang dari nenek dan ayi yang baru selesai shalat subuh.

Kalau begini, ibu menjadi lega. Kewajiban menggendong Cori yang kini beratnya sudah 5,5 kg, beralih ke tangan nenek atau ayi.

Jika jam di dinding telah menunjukkan angka 07.00 WIB, Cori siap sedia dengan acara olahraga pagi bersama ayi. Walau hanya “berjalan” (dalam gendongan) sekitar 300 meter di komplek, ia kelihatan bahagia.

Hanya 15-20 menit, Cori mengantuk lagi… Ayi membawa pulang dan menyerahkan Cori ke tangan nenek atau ibunya. Cori kemudian ditidurkan sesaat dalam box bayi yang telah berusia 38 tahun… (bekas box tante Linda, Om Imam, ibunya, serta tante dan om anak ayi Fendi).

Tidurnya tidak lama, sekitar pukul 08.00 WIB, Cori telah bangun dan siap-siap mandi. Urusan mandi, menjadi tanggung jawab ayah dan ibunya. Cori mandi dalam baskom warna biru. Sabun dan shampoo bayi menjadi teman mandi, biar harum dan segar.

Memandikan Cori tidak lama, karena ayahnya sering kelelahan memegang badan Cori yang tambah berat. “Hukum pertama mandi, paling lama 15 menit,” kata ayah yang selalu mengulang ucapan itu, jika ibu asyik menggosok badan Cori sambil berbicara urusan kantor (ibu lupa sedang mandikan Cori).

Setelah mandi, minyak telon dan caladine cair digosokkan ke badan Cori. Hanya sedikit bedak bayi, pesan ayah, dalam bedak mengandung zat kimia yang bisa menimbulkan iritasi pada paru-paru.

Sejak umur dua bulan, Cori terbiasa menggunakan pampers. Ia yang sering ditinggal ayah ibu bekerja, mau tidak mau harus menggunakan pelindung pipis dan BAB itu agar tidak merepotkan nenek dan ayi yang setia menemani sepanjang siang.

Setelah bertambah cantik (memang Cori cantik, punya hidung mancung dan senyum manis). Ia mulai merengek minta susu. Kalau belum disiapkan, rengekannya tambah keras. Ibu menjadi agak panik melihat reaksi Cori yang kehausan.

Porsi susu botol, 3 sendok susu ditambah air 90 ml. Dalam waktu 15 menit, susu dalam botol habis dihisap Cori. Setelah menyusu, mata Cori menjadi “stun” alias mengantuk kembali. Ia akan tertidur pulas dalam gendongan, sebelum dipindah ke box bayi atau tempat tidur.

Saat Cori bobok, kebiasaan ayah ibunya, bersiap pergi ke kantor. Sejak pukul 09.30 WIB – 19.00 WIB, biasanya Cori hanya ditemani nenek dan ayi. Selama waktu itu, banyak kemajuan dari perkembangan Cori. Selama waktu itu pula, banyak yang tidak bisa disaksikan langsung oleh ayah ibunya.

Tanpa terasa, Cori semakin besar, semakin lincah dan aktif, semakin nakal, dan tentu saja cerdas. Selamat Ulang Bulan Sayangku…***