Sabtu, 06 Januari 2007

Gank Jomblo

Saturday, Januari 6, 2007


Berawal dari persamaan nasib. Kebutuhan kerja dan semangat berbagi. Mungkin itulah yang membuat kami berkumpul dalam satu ikatan. Satu tongkrongan yang biasa kami sebut Gank Jomblo. Jomblo dalam bahasa gaulnya berarti orang yang belum punya pacar atau pasangan.


Gank Jomblo terdiri dari para wartawati di Kota Pontianak. Mereka adalah Levy, Yanti, dan Evy Tanderi –Vhe (Pontianak Post), Sapariah –Ari (Equator), Ansela Sarating atau Xela (Radio Volare), Kristin Boekit (TVRI), Eva (Radio Sonora), dan saya sendiri, Nurul Hayat atau Uun (LKBN ANTARA). Namun anggota gank sesungguhnya tidak mereka saja. Terkadang ada juga Helen (mantan reporter Sonora). Ia sesekali saja bergabung dengan kami, karena sibuk mengurus bisnis baru di bidang pendidikan sebagai guru privat.

Nama Gank Jomblo berawal dari pikiran Ansela Sarating, (kami biasa memanggilnya Xela). Menurutnya, kalau kami kumpul selalu ramai. Bicara mengenai liputan seperti, ekonomi, politik, hukum dan kriminal, merupakan menu sehari-hari. Tak ketinggalan dan ini juga menjadi menu pokok para perempuan, gosip dan penampilan.

Gank Jomblo menurut Ansela Sarating memiliki “induk”, Bapak LH Kadir yang juga jomblo. Ansela juga menambah nama gank menjadi “Jomblo Ijolumut (hijau dan imut-imut, gitu lho..).

Tak ada yang tahu pasti, kapan munculnya Gank Jomblo. Kami tak ada yang mencatatnya dalam agenda pribadi. Nama itu tiba-tiba muncul. Semua berawal dari ledekan sesama wartawan perempuan di Pontianak. Kebetulan dari kami, banyak yang belum punya pacar atau menikah. Tak heran bila salah seorang teman, Sahat Oloan Saragih, wartawan Suara Pembaruan di Kalbar, menjanjikan pada kami.

“Jika salah satu dari kalian bisa menikah tahun 2003, saya akan menyiapkan undangan pestanya,” kata Sahat. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kami menikah pada tahun 2003. Jadi sayembara itu tentu saja tak ada pemenangnya. Hehe…..resek banget, Sahat.

Ada yang khas dari Gank Jomblo. Kami selalu ber-SMS untuk ketemu makan siang.
“Kumpul di Tjutjuk jam 12.00, teng ya…”
“Otre, menyusul….”
“Lagi di mana nich? Kok belum muncul?”
“On the way, sebentar lagi sampai…”

Begitulah kira-kira bunyi SMS kami. Kenyataannya pertemuan itu selalu ngaret. Dan ini seolah sudah menjadi tradisi. Tak heran bila kedelapan anggota gank tak bisa lengkap untuk kumpul. Biasanya yang paling sering telat adalah Ari. Dan dia juga yang kemudian memopulerkan istilah “on the way” di komunitas gank.

Alasan untuk keterlambatannya sederhana saja. “Mandi atau salat dulu, baru keluar rumah,” kata Ari. Alasan itu selalu menjadi kata kunci. Akhirnya kami pun terbiasa dengan alasannya dan tak begitu mempermasalahkan. Ari memang menjadi redaktur di harian Equator. Ia biasa pulang tengah malam bahkan hingga dinihari. Tak heran bila tidurnya pun sampai siang. Padahal dia tidak ada kerjaan di rumah. Mencuci pakaian, masak dan membereskan rumah, sudah ada yang mengerjakan. Ya itu….mamaknya sendiri.

Berbeda dengan Ari, kami selalu berangkat pagi hari untuk liputan. Entah itu di kantor gubernur, gedung DPRD, atau mengikuti seminar di hotel. Mengikuti seminar berarti makan gratis. Asyik kan. Jika sudah jam makan siang dan tidak ada undangan makan gratis, kami pun dengan cepat berangkat menuju kantin Bu Tjutjuk (baca; Jujuk), di jalan Halmahera.

Kantin itu tempat berkumpulnya banyak orang. Ada yang datang untuk makan siang. Sekedar ngopi sambil main catur. Dan ada juga yang hanya minum sambil cuci mata. Penampilan pengunjung kantin beragam. Ada yang hanya bersandal jepit, tetapi banyak juga yang tampil modis dengan mack up tebal dan berdasi.

Bagi saya pribadi, nongkrong di kantin Bu Tjutjuk bukan hal baru. Kebetulan saya tamatan SMA I, dan bersebelahan dengan kantin. Situasi nongkrong semasa sekolah dan kerja tentu beda. Bila semasa sekolah harus bolos atau sehabis olah raga, baru bisa nongkrong. Saat kerja nongkrong di kantin Bu Tjutjuk berarti cuci mata dan tukar informasi liputan.

Kalau lagi kumpul dan bicara masalah liputan ekonomi, Ari ibarat Sri Mulyani (Menteri Keuangan Kabinet SBY), Kristin seperti Miranda Gultom, dan Xela menjadi Mary Elka Pengestu. Kalau membahas masalah ekonomi, Ari dan Kristin jadi orang paling ramai. Saling debat tanpa peduli kiri dan kanan. Sedang yang lainnya, sesekali menimpali dengan canda.

Paling seru kalau bicara gosip. Apalagi kalau yang ikut kumpul Yanti dan Kristin. Mereka seperti anjing dan kucing. Selalu saling ledek. Suasana kantin rasanya tambah hangat saja. Kalau bicara gosip macam-macam. Sesama anggota gank juga jadi bahan gosip. Misalnya hari itu tak ada Kristin, maka kami menggosipkan dia. Begitu juga dengan yang lain. Orang yang tak hadir hari itu, akan menjadi bahan gosip terhangat.

Selain suka kumpul, Gank Jomblo juga sering liputan bareng ke luar kota. Suatu saat kami liputan soal TKI di Kuching, Sarawak. Nah, yang berangkat personelnya ganti lagi. Selain ada Ari, Xela, Helen, saya, juga ada Eka Sugiatmi (Pontianak Post). Eka saat ini pindah ke Yogyakarta.

Lucunya saat liputan ini, kami menginap di hotel murah. Tetapi bayarnya mesti patungan berlima untuk satu kamar. Kamarnya berada di lantai empat. Untuk sampai ke kamar, harus naik anak tangga terjal. Kalau habis liputan atau belanja di India Street, salah satu dari kami menentang bungkusan belanja yang besar-besar.

Ada dua orang punya kegemaran belanja. Siapa lagi kalau bukan Ari dan Eka. Kami saling tahu, Ari selalu membawa oleh-oleh buat keluarga atau temannya. Kemanapun liputan atau untuk suatu urusan. Dia selalu membungkus oleh-oleh itu dalam plastik besar. Biasa disebut plastik kresek. Terkadang ia kerepotan membawanya. Tetapi, Ari tidak pernah merepotkan temannya. Dia selalu membawa bungkusan belanjaannya sendiri. Ari tak pernah minta bantuan kami.

Pulang belanja sambil membawa plastik hitam, tentu saja mengundang perhatian banyak orang. Pernah sekali waktu, ketika hendak menyeberang jalan di Kuching, Malaysia, seorang pengemudi mobil pick up membunyikan klakson menyapa kami.

“Wah, kita dikira TKI gara-gara bawa bungkusan plastik,” kata Helen.

Di Gank Jomblo, Ari dikenal “pemabuk”. Sama seperti Xela. Kalau pergi naik mobil selalu pusing-pusing dan ingin muntah. Kami sering mencandainya, “Wah tidak punya bakat jadi orang kaya.” Dengan kepindahannya ke Jakarta, kami tentu tidak bisa memastikan, apakah kebiasaan mabuknya masih berlangsung. Kalau masih, wah, kasihan sekali Ari. Tak bisa menikmati naik angkot, karena khawatir mabuk lagi… Ah, mabuk lagi… Kacian deh.

Di Gank Jomblo, Ari dan Levy paling kompak. Kalau boncengan motor saat meliput, sepanjang jalan selalu bernyanyi. Lagunya macam-macam. Tentu saja yang berbau pop anak muda.

Ari sering membujuk Levy, kalau sedang merajuk. Levy gampang menangis, walaupun badannya paling besar di gank. Sementara Ari, dikenal paling kuat. Saat ayahnya meninggal, ia kuat dan tidak menangis.

Selain gemar menyanyi saat naik motor, mereka juga mahir ber-sms-an. Tanpa peduli lalu lintas dan kendaraan di sekitarnya. Tangan kanan memegang gas, tangan kiri memegang telepon genggam membalas sms narasumber.

Wah kalau soal sms sambil jalan pakai motor, Ari memang ahlinya. Saya mengakui hal itu. Pokoknya di Gank Jomblo, Ari jadi maskot. Banyak cerita lucu ketika bersamanya. Tapi Gank Jomblo ada pasang surutnya. Sejak kepindahan Xela ke Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, karena diterima menjadi PNS, disusul Ari pindah kerja ke Jakarta, dan Vhe lulus test PNS Pemda Kalbar. Jumlah anggota gank pun semakin berkurang.

Satu persatu anggota gank memiliki pasangan hidup. Diawali pernikahan Vhe, lalu saya. Dalam waktu dekat, Ari dan Yanti juga menyusul. Kami pernah membuat foto bersama di studio. Mungkin hal itulah yang menjadi bukti, bahwa Gank Jomblo dengan delapan personilnya, pernah kumpul bareng.

Ketika melihat foto itu, pikiran saya pun menerawang. Ada rasa suka, duka, haru, dan semua perasaan itu bercampur aduk. Foto itu menyisakan pertanyaan. Bagaimana kabarmu sobat?