Jumat, 26 Mei 2006

GAWAI, UPAYA MENELUSURI JEJAK BUDAYA DAYAK KALBAR

Awan putih dalam selimut kabut hitam menghias langit, bunyi gendang yang ditabuh saling sahut mengisi ruang dengar mereka yang hadir dalam perhelatan syukur kepada Jubata. Langit mendung itu tampak tak mengusik suasana pesta yang baru saja dimulai di rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo, Pontianak, 24 Mei lalu.

Merupakan acara ritual suku-suku Dayak di Kalimantan Barat sebagai pengungkap rasa syukur kepada pencipta, atas hasil panen yang melimpah. Acara itu dalam 20 tahun terakhir disebut sebagai "Gawai" atau Pesta Padi. Semua suku Dayak yang ada di 12 kabupaten/kota, menggunakan momen bulan Mei sebagai bulan perhelatan besar layaknya hari raya agama yang berlangsung setiap tahun.

Dan ketika pesta itu digelar di kampung-kampung, kegiatan saling mengunjungi, makan bersama, dan perlombaan, serta hiburan berlangsung selama beberapa hari. "Semua orang Dayak Kalbar merayakan Gawai pada bulan ini. Baik itu di kampung-kampung maupun di kota," kata seorang tokoh pemuda Dayak, Tobias Ranggie, ketika sedang menyaksikan acara yang dibuka wakil gubernur.


Inilah wujud kebersamaan orang Dayak. Berkumpul, berdoa dan makan bersama untuk mengungkap syukur kepada Jubata, pencipta alam semesti, katanya.

Gawai Dayak di Kalbar berlangsung setiap tahun pada tiap-tiap bulan Mei. Acara itu sudah berlangsung ke 20 kali. Pesta untuk pertama kali terjadi tahun 1986. Pernah sekali tidak terselenggara karena bertepatan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 1998.

Semua warga Dayak yang tinggal di kampung dan di kota, bersuka cita menyambut bulan baik tersebut. Bulan Mei menjadi bulan penuh keceriaan milik orang tua, pemuda/pemudi, dan anak-anak, untuk menikmati hasil panen yang berlimpah dan sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.

Gawai dalam suasana sederhana juga telah berlangsung di desa/kampung suku-suku Dayak yang ada di 12 kabupaten/kota di Kalbar. Seperti yang dilakukan suku Dayak Kantuk di kampung Pala' Pulau, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, acara Gawai dilaksanakan 17 Mei. Ada pula di Kecamatan Mandai, Kapuas Hulu, acara serupa dengan nama "Makai Taun" juga dilaksanakan pada 12-14 Mei.

Dalam suasana Gawai, masyarakat suku Dayak saling berkunjung dan makan bersama keluarga, layaknya lebaran yang dirayakan umat Islam ataupun Natal yang dirayakan umat Kristiani, kata Ansela Sarating, warga Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu.

Sedangkan Gawai yang berlangsung di Kota Pontianak 24-28 Mei, merupakan pesta yang diikuti sanggar-sanggar kesenian se-Kalbar. Dalam acara itu, berbagai kegiatan seni dan hiburan dilaksanakan selama sepekan.

Peringatan Gawai bulan Mei, dalam sejarahnya memiliki makna khusus, yakni bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Kesempatan penyelenggaraan Gawai pada tiap-tiap bulan Mei berdasarkan surat keputusan (SK) gubernur Soejiman pada tahun 1986, tentang Pengaturan Gawai (Pesta Padi) masyarakat Dayak di Kalbar.

Acara itu bukan semata rutinitas tahunan sebagai ungkapan syukur kepada sang Jubata, namun bermakna lebih luas, yakni guna menelusuri jejak budaya suku-suku Dayak di Kalbar. Karena saat Gawai berlangsung, ribuan warga Dayak Kalbar berkumpul menampilkan atraksi seni budaya dan upacara ritual khas dari setiap suku.

Seperti yang baru saja digelar di rumah Betang Panjang Pontianak. Acara ritual adat diikuti perwakilan suku-suku Dayak seperti Kanayant'n, Taman, Iban, Bedayu, Embaloh, dll yang tergabung dalam sanggar kesenian Dayak yang ada di Kalbar.

Penelusuran budaya
Penelusuran budaya agaknya sudah menjadi hal lumrah bagi setiap suku di dunia untuk tidak menghilangkan sejarah yang pernah ada di leluhur mereka. Tetapi tidak banyak dari suku-suku yang ada di dunia, berhasil mempertahankan adat istiadat dan budaya warisan leluhur itu.

Upaya itulah yang kini sedang dilakukan oleh orang Dayak di Kalbar dewasa ini. Baik masyarakat, tokoh, para elit dari suku asli di pulau Kalimantan tersebut, menaruh harapan besar agar adat budaya leluhur mereka tetap dipertahankan meskipun generasi muda Dayak saat ini juga harus menghadapi globalisasi, modernisasi.

Seperti penuturan Sekretaris Panitia Pesta Gawai Dayak 2006, F Sudarman belum lama ini, bahwa acara itu bukan hanya mengumpulkan warga dan kemudian menampilkan aneka ragam budaya seperti yang selalu dilakukan setiap tahunnya.

Bukan pula sebuah pesta mabuk-mabukan, sampai "nyolor" (teler) karena minum tuak dan kebanyakan makan. Tetapi, dalam perjalanan beberapa tahun belakangan, kegiatan itu menjadi momen penting orang Dayak Kalbar untuk menelusuri jejak budaya leluhur mereka. "Penelusuran jejak budaya itu penting untuk generasi muda suku Dayak," kata Sudarman lagi.

Pengakuan senada juga diungkapkan Tobias Ranggie, yang dari tahun ke tahun mengamati perkembangan pesta Gawai tersebut. Dahulu, ujarnya, Gawai bisa diakui sebagai kegiatan rutin untuk setiap tahun. Tetapi kali ini maknanya menjadi luas seiring dengan semakin berkembangnya zaman. Makna lain dari perayaan Gawai ini adalah juga untuk menjawab tantangan ke depan. "Jangan sampai ke depan, kita tidak mempunyai identitas," katanya.

Setidak-tidaknya orang Dayak mengetahui kebudayaannya sendiri. Karena pada kenyataannya, banyak dari masyarakat Kalbar tidak mengetahui apa itu Gawai Dayak. Orang Dayak tampaknya sudah menyadari betapa pentingnya melestarikan adat budaya leluhur agar tidak punah ditelan zaman. Oleh karena itu, adanya pesta Gawai menjadi kesempatan berarti bagi masyarakat Dayak menghimpun yang masih tersisa dari peninggalan generasi tua, "entah" itu yang terserak atau tercerai berai pada masing-masing suku yang ada.

"Adat istiadat leluhur yang masih bisa dikumpulkan mesti diketahui oleh generasi muda. Agar mereka dapat menjaga dan melestarikan pada masa berikutnya," jelas Tobias lagi.

Pelestarian adat budaya Dayak penting untuk masa depan, jika mengingat jumlah orang Dayak di Kalbar sekitar 1,6 juta jiwa dari total penduduk Kalbar yang mencapai 3.722.172 jiwa. Menurut ia, kebudayaan yang dijaga dengan baik oleh masyarakatnya, dapat menjadi "alat" komunikasi antarsuku bangsa.

Kebudayaan juga dapat berinovasi sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun adat istiadat dan budaya Dayak yang masih dapat dipertahankan, misalnya, upacara tolak bala, menolak balak atau musibah saat perayaan seperti saat Gawai.

Upacara tolak balak itu dikenal dengan upacara baliat'n dan ngampar bide. Kedua acara itu biasanya dilaksanakan saat ada hajatan besar. Kemudian olahraga tradisional yang dikemas dalam bentuk perlombaan seperti perlombaan enggrang, pangkak gasing -- memiliki makna masa lalu -- sebagai kegiatan memecahkan kantong padi, menyumpit, dll.

Gawai juga dapat diisi dengan acara bernuansa baru seperti festival bujang dan dara Dayak, perlombaan memasak makanan khas Dayak, dan lomba melukis. Semua itu dilakukan sebagai upaya penelusuran jejak budaya Dayak yang selama ini terserak dan tercerai berai pada tiap-tiap generasi dan subsuku yang sejak lama tidak pernah tersimpan dalam dokumen.

Pengumpulan dokumen/arsip
Ketiadaan dokumen dan arsip adat istiadat peninggalan leluhur, mengakibatkan pemerintah daerah Kalbar berupaya keras mengumpulkan data dalam bentuk file tulisan, gambar foto, dan gambar bergerak mengenai adat istiadat dan budaya orang Dayak.

"Dokumen itu dikumpulkan dari banyak pihak dan tempat. Apakah itu milik masyarakat umum, seniman, dan budayawan ataupun dari wartawan yang pernah mendokumentasikan acara-acara adat Dayak seperti Gawai atau Naik Dango, dan lain-lain," kata Wakil Gubernur Kalbar, Laurensius Herman Kadir.

Dokumen, menurut ia, penting untuk inventarisasi aset budaya suatu bangsa. Karena itu pemerintah daerah sedang berupaya mengumpulkan dokumen atau data-data yang mungkin dimiliki oleh masyarakat.

Sementara itu, Herry Djaung, Kepala Badan Komunikasi, Informasi dan Kearsipan (BKIK) daerah Kalbar, mengakui, diperkirakan dokumentasi mengenai adat istiadat atau upacara seperti Gawai hanya terdokumentasi dalam 5 tahun terakhir. Sedangkan untuk mendapatkan dokumen pada 10 tahun yang lalu, memerlukan kerja keras, dan mungkin hanya sebagian kecil saja yang ada dan tersimpan dalam koleksi dokumentasi masyarakat umum. Ia menambahkan, telah meminta kepada petugas peliput dari badan yang dipimpinnya agar dapat mendokumentasikan dengan baik setiap upacara adat suku Dayak Kalbar.

Dokumen itu bisa berupa gambar pakaian tradisional. Seperti saat Gawai Dayak di rumah Betang Panjang Pontianak, sejumlah orang yang hadir dalam perayaan itu mendapat topi-topi khas suku Dayak dari Kabupaten Ketapang. "Ini suatu ciri khas. Kita selama ini tidak tahu bahwa pada orang Dayak dari Ketapang ada topi-topi khas yang berbeda bentuknya dengan topi orang Dayak yang mendiami daerah lain," katanya.

Ia menyatakan keanekaragaman adat istiadat, budaya, atau pun ciri khas suatu suku adalah aset dan potensi seni budaya yang tinggi. Selain mengumpulkan dokumen, inventarisasi event budaya yang ada di setiap suku yang ada Kalbar, sehingga dapat terus dilestarikan. Sehingga, jangan sampai terjadi suatu negeri menjadi kehilangan identitas karena lupa dengan adat istiadat dan budaya leluhur.